Rektor Unhas saat peresemian kampus Unhas di Jakarta |
Pandai benar mereka yang memilih kampus Unversitas Hasanuddin (Unhas) Jakarta di Petojo, Jakarta Pusat. Di lokasi kampus ini, ada jejak bangsawan Bugis, Arung Pettojo yang dahulu datang bersama Arung Palakka.
Di beberapa bagian kota yang dijuluki Queen of the East ini, terdapat banyak jejak orang Bugis Makassar. Mulai dari Petojo, Muara Angke, hingga Marunda, tersimpan kisah heroik orang Bugis Makassar saat bertualang, saat mencari hidup di negeri orang, hingga kisah kejayaan.
***
“Dengan ini, saya resmikan kampus Unhas di Kota Jakarta,” kata Rektor Unhas, Profesor Jamaluddin Jompa. DIa menggunting pita merah, lalu memasuki gedung kampus Unhas.
Bau cat masih terasa pekat. Di beberapa bagian, terlihat baru saja diresmikan. Sejak pertengahan tahun ini, Unhas membeli dua gedung yang dahulu adalah hotel dan apartemen. Lokasinya di Petojo, Jakarta.
Ada rasa bahagia terpancar di udara. Rektor Unhas meyakini, ini adalah awal dari peradaban baru. Bisa memiliki kampus di Daerah Khusus Jakarta (DKJ) adalah capaian besar.
Unhas bukan lagi kampus yang letaknya nun jauh di timur. Kini, Unhas sudah jadi kampus nasional. Dalam waktu dekat, Unhas juga akan membuka kampus di Ibu Kota Nusantara (IKN).
Entah, apakah ini kebetulan atau bukan, lokasi lampus Unhas letaknya di kawasan Petojo, yang dahulu masyhur sebagai rumah bagi orang-orang Bugis. Di sini, ada kisah bagaimana orang-orang Bugis meninggalkan kampung halamannya, lalu pergi ke Pulau Buton, setelah itu mendatangi Batavia.
Dalam buku 212 Asal-Usul Djakarta Tempo Doeloe yang ditulis Zaenuddin HM, terdapat kisah mengenai asal-usul kampung Petojo. Di awal abad ke-17, Pettojo masih berupa hutan belantara tanpa penghuni. Namun, setelah Phoa Bing An membuat terusan bernama Molenviet, yang menghubungkan kota lama dengan sebelah selatan, maka berdatangan orang-orang dari luar ke Petojo.
Mengapa namanya Petojo? Zaenuddin HM menjelaskan, ada banyak versi mengapa kawasan itu dinamakan Petojo. Ada yang meyakini Petojo berasal dari nama pemlik kawasan tersebut yakni Komandan Petuju Jongker.
Namu, ada pula yang menyebutkan karena di daerah itu, yang kini menjadi Jl Suryopranoto, dahulu terdapat pabrik es Petojo yang merupakan paberik es terbesar di Jakarta.
Kebanyakan orang menyatakan, Petojo berasal dari nama Arung Pattuju atau Arung Pettojo, pengikut Aru Palaka (Raja Bone) yang datang ke Batavia meminta bantuan Belanda untuk menghadapi Sultan Hasanuddin di Makassaar.
Dalam catatan sejarawan Leonard B Andaya, orang Bugis sudah lama berkelana dan menempati kawasan pesisir Nusantara. Di Batavia, mereka mulai berdatangan dalam jumlah banyak sejak abad ke-17. Pada masa itu, Arung Pakkka datang membawa 300 pengikutnya.
Hendrik E. Niemeijer dalam bukunya yang berjudul Batavia, Masyarakat Kolonial Abad XVIII menguraikan kronologi pembentukan perkampungan di Batavia.
Dalam catatannya, sebanyak 6.000 orang Bugis dan Makassar menempati wilayah di luar tembok kota Batavia, Ommenlanden pada abad ke-17.Sebagian besar di antara mereka juga bekerja sebagai budak.
Mereka yang mendatangi Ommenlanden ditempatkan oleh Pemerintah Kolonial di perkampungan tertentu.
Seiring dengan berjalannya waktu dan banyaknya interaksi antara etnis, di antara suku itu juga banyak yang menikah dan memiliki keturunan.Seperti datangnya etnis lain di Batavia, orang-orang Bugis dan Makassar datang karena adanya peristiwa politik dan militer tertentu.
Niemeijer mengungkapkan jika pada tahun 1663, Raja Bugis Patoudjou (kini jadi nama Kawasan Petojo), salah satu dari empat Raja Bugis tiba di Batavia
Bersama anak buahnya.Mereka menumpang beberapa kapal kompeni. Raja Bugis ini melarikan diri ke Buton, menghindari kejaran orang Makassar yang menilai kesepakatan yang dia tandatangani dengan kompeni sebagai pengkhianatan.
Saat tiba di Batavia, orang-orang Bugis tersebut terlebih dahulu harus tinggal sementara di perkebunan kompeni. Mereka diberi sebidang lahan di sebelah barat kali Krukut untuk mereka tinggali. Sementara itu, pada 25 Oktober 1678, Kapal Tertholen membuang sauh di Teluk Batavia. Kapal itu membawa Arung Palakka yang terkenal beserta sekelompok besar orang Bugis lainnya.
Adapun untuk membiayai hidup para keluarga Bugis di pulau-pulau pertama, Raja Arung Palakka mendapat 1.000 ringgit dan sejumlah pikul padi. Untuk mencegah kecemburuan kepala Kampung Makassar maka Karaeng Bisse juga diberi 400 ringgit untuk keperluan rakyatnya.
Menurut Niemeijer, segala bentuk pemberian yang dberikan orang-orang Bugis dan Makassar bukanlah bentuk kedermawanan, melainkan investasi dalam sumber daya tentara.
Pada masa itu terjadi pemberontakan yang dipimpin Pangeran Trunajaya dari Madura yang ketika itu hendak menggulingkan Raja Mataram. VOC akhirnya memanfaatkan orang-orang Makassar dan Bugis sebagai pasukan yang dapat menumpas pemberontakan tersebut.
Lahan yang ditempati Arung Palakka dan rakyatnya merupakan lahan pinjaman dari kompeni dan tidak diberi hak milik. Begitupun dengan sebidang lahan kompeni yang dipinjamkan kepada kelompok orang Makassar.
***
Di Petojo, saya membayangkan mereka yang berseliweran di tanah ini di Batavia abad ke-17. Dalam catatan Niemeijer, orang-orang Bugis Makassar dahulu dikenal sebagai jagoan yang menguasai Batavia. Mereka oandai berdagang, menguasai jalur perdagangan emas, serta disegani di seluruh penjuru Batavia.
Di kalangan orang Betawi, orang Bugis Makassar juga dikenal sebagai saudagar yang dermawan. Lihat saja bagaimana Rumah Si Pitung di kawasan Marunda, yang merupakan rumah khas Bugis kepunyaan Haji Safiuddin, juragan tambak ikan. Rumah khas Bugis itu sering didatangi Si Pitung saat menghindari serdadu Belanda.
Tak jauh dari sini, terdapat Muara Angke, yang waganya dulu disebut To Angke atau orang Angke dalam bahasa Bugis. Lihat pula banyak pulau di Kepulauan Seribu yang dihuni orang Bugis.
Jika orang Bugis Makassar punya jejak emas di Batavia masa silam, bagaimana halnya di masa kini?
“Kampus ini akan jadi rumah peradaban, rumah pengetahuan, dan rumah kebudayaan.Kita ingin kampus Unhas demikian. Bagaimana pendapatmu?,” tanya seorang guru besar Unhas yang saya temui saat peresmian kampus di Jakarta.
Saya menyimak. Saya pikir tantangan perguruan tinggi kian kompleks. Ada banyak perubahan yang terjadi di luaran sana dan butuh respon cepat. Disrupsi sedang terjadi di mana-mana.
Di banyak tempat, kampus hanya jadi pabrik pencetak sarjana yang diajari teori usang dan tidak relevan, lalu abai pada pengembangan kualitas kehidupan. Malah dunia korporasi punya riset yang lebih mumpuni demi menjaga iklim inovasi serta tetap jadi pemenang di abad pengetahuan.
“Saya pikir Unhas bisa di mana saja. Bukankah gelora pantaimu, lembah gunungmu, menjadi tempat mengabdi?,” jawabku pada bapak itu.
Dia tersenyum. Saya mendengar dia menggumam “Ilmu Amal Padu Mengabdi.”
Jakarta, 14 Desember 2024