[go: up one dir, main page]
More Web Proxy on the site http://driver.im/
Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Unhas Jakarta di Perkampungan Bugis

Rektor Unhas saat peresemian kampus Unhas di Jakarta

Pandai benar mereka yang memilih kampus Unversitas Hasanuddin (Unhas) Jakarta di Petojo, Jakarta Pusat. Di lokasi kampus ini, ada jejak bangsawan Bugis, Arung Pettojo yang dahulu datang bersama Arung Palakka. 

Di beberapa bagian kota yang dijuluki Queen of the East ini, terdapat banyak jejak orang Bugis Makassar. Mulai dari Petojo, Muara Angke, hingga Marunda, tersimpan kisah heroik orang Bugis Makassar saat bertualang, saat mencari hidup di negeri orang, hingga kisah kejayaan.

*** 

“Dengan ini, saya resmikan kampus Unhas di Kota Jakarta,” kata Rektor Unhas, Profesor Jamaluddin Jompa. DIa menggunting pita merah, lalu memasuki gedung kampus Unhas. 

Bau cat masih terasa pekat. Di beberapa bagian, terlihat baru saja diresmikan. Sejak pertengahan tahun ini, Unhas membeli dua gedung yang dahulu adalah hotel dan apartemen. Lokasinya di Petojo, Jakarta.

Ada rasa bahagia terpancar di udara. Rektor Unhas meyakini, ini adalah awal dari peradaban baru. Bisa memiliki kampus di Daerah Khusus Jakarta (DKJ) adalah capaian besar.

Unhas bukan lagi kampus yang letaknya nun jauh di timur. Kini, Unhas sudah jadi kampus nasional. Dalam waktu dekat, Unhas juga akan membuka kampus di Ibu Kota Nusantara (IKN).

Entah, apakah ini kebetulan atau bukan, lokasi lampus Unhas letaknya di kawasan Petojo, yang dahulu masyhur sebagai rumah bagi orang-orang Bugis. Di sini, ada kisah bagaimana orang-orang Bugis meninggalkan kampung halamannya, lalu pergi ke Pulau Buton, setelah itu mendatangi Batavia.

Dalam buku 212 Asal-Usul Djakarta Tempo Doeloe yang ditulis Zaenuddin HM, terdapat kisah mengenai asal-usul kampung Petojo. Di awal abad ke-17, Pettojo masih berupa hutan belantara tanpa penghuni. Namun, setelah Phoa Bing An membuat terusan bernama Molenviet, yang menghubungkan kota lama dengan sebelah selatan, maka berdatangan orang-orang dari luar ke Petojo. 

Mengapa namanya Petojo? Zaenuddin HM menjelaskan, ada banyak versi mengapa kawasan itu dinamakan Petojo. Ada yang meyakini Petojo berasal dari nama pemlik kawasan tersebut yakni Komandan Petuju Jongker. 

Namu, ada pula yang menyebutkan karena di daerah itu, yang kini menjadi Jl Suryopranoto, dahulu terdapat pabrik es Petojo yang merupakan paberik es terbesar di Jakarta. 

Kebanyakan orang menyatakan, Petojo berasal dari nama Arung Pattuju atau Arung Pettojo, pengikut Aru Palaka (Raja Bone) yang datang ke Batavia meminta bantuan Belanda untuk menghadapi Sultan Hasanuddin di Makassaar. 

Dalam catatan sejarawan Leonard B Andaya, orang Bugis sudah lama berkelana dan menempati kawasan pesisir Nusantara. Di Batavia, mereka mulai berdatangan dalam jumlah banyak sejak abad ke-17. Pada masa itu, Arung Pakkka datang membawa 300 pengikutnya.

Hendrik E. Niemeijer dalam bukunya yang berjudul Batavia, Masyarakat Kolonial Abad XVIII menguraikan kronologi pembentukan perkampungan di Batavia. 

Dalam catatannya, sebanyak 6.000 orang Bugis dan Makassar menempati wilayah di luar tembok kota Batavia, Ommenlanden pada abad ke-17.Sebagian besar di antara mereka juga bekerja sebagai budak. 

Mereka yang mendatangi Ommenlanden ditempatkan oleh Pemerintah Kolonial di perkampungan tertentu. 

Seiring dengan berjalannya waktu dan banyaknya interaksi antara etnis, di antara suku itu juga banyak yang menikah dan memiliki keturunan.Seperti datangnya etnis lain di Batavia, orang-orang Bugis dan Makassar datang karena adanya peristiwa politik dan militer tertentu.

Niemeijer mengungkapkan jika pada tahun 1663, Raja Bugis Patoudjou (kini jadi nama Kawasan Petojo), salah satu dari empat Raja Bugis tiba di Batavia 


Bersama anak buahnya.Mereka menumpang beberapa kapal kompeni. Raja Bugis ini melarikan diri ke Buton, menghindari kejaran orang Makassar yang menilai kesepakatan yang dia tandatangani dengan kompeni sebagai pengkhianatan.

Saat tiba di Batavia, orang-orang Bugis tersebut terlebih dahulu harus tinggal sementara di perkebunan kompeni. Mereka diberi sebidang lahan di sebelah barat kali Krukut untuk mereka tinggali. Sementara itu, pada 25 Oktober 1678, Kapal Tertholen membuang sauh di Teluk Batavia. Kapal itu membawa Arung Palakka yang terkenal beserta sekelompok besar orang Bugis lainnya.

Adapun untuk membiayai hidup para keluarga Bugis di pulau-pulau pertama, Raja Arung Palakka mendapat 1.000 ringgit dan sejumlah pikul padi. Untuk mencegah kecemburuan kepala Kampung Makassar maka Karaeng Bisse juga diberi 400 ringgit untuk keperluan rakyatnya.

Menurut Niemeijer, segala bentuk pemberian yang dberikan orang-orang Bugis dan Makassar bukanlah bentuk kedermawanan, melainkan investasi dalam sumber daya tentara. 

Pada masa itu terjadi pemberontakan yang dipimpin Pangeran Trunajaya dari Madura yang ketika itu hendak menggulingkan Raja Mataram. VOC akhirnya memanfaatkan orang-orang Makassar dan Bugis sebagai pasukan yang dapat menumpas pemberontakan tersebut.

Lahan yang ditempati Arung Palakka dan rakyatnya merupakan lahan pinjaman dari kompeni dan tidak diberi hak milik. Begitupun dengan sebidang lahan kompeni yang dipinjamkan kepada kelompok orang Makassar.

*** 

Di Petojo, saya membayangkan mereka yang berseliweran di tanah ini di Batavia abad ke-17. Dalam catatan Niemeijer, orang-orang Bugis Makassar dahulu dikenal sebagai jagoan yang menguasai Batavia. Mereka oandai berdagang, menguasai jalur perdagangan emas, serta disegani di seluruh penjuru Batavia.

Di kalangan orang Betawi, orang Bugis Makassar juga dikenal sebagai saudagar yang dermawan. Lihat saja bagaimana Rumah Si Pitung di kawasan Marunda, yang merupakan rumah khas Bugis kepunyaan Haji Safiuddin, juragan tambak ikan. Rumah khas Bugis itu sering didatangi Si Pitung saat menghindari serdadu Belanda.

Tak jauh dari sini, terdapat Muara Angke, yang waganya dulu disebut To Angke atau orang Angke dalam bahasa Bugis. Lihat pula banyak pulau di Kepulauan Seribu yang dihuni orang Bugis.

Jika orang Bugis Makassar punya jejak emas di Batavia masa silam, bagaimana halnya di masa kini?

“Kampus ini akan jadi rumah peradaban, rumah pengetahuan, dan rumah kebudayaan.Kita ingin kampus Unhas demikian. Bagaimana pendapatmu?,” tanya seorang guru besar Unhas yang saya temui saat peresmian kampus di Jakarta. 

Saya menyimak. Saya pikir tantangan perguruan tinggi kian kompleks. Ada banyak perubahan yang terjadi di luaran sana dan butuh respon cepat. Disrupsi sedang terjadi di mana-mana. 

Di banyak tempat, kampus hanya jadi pabrik pencetak sarjana yang diajari teori usang dan tidak relevan, lalu abai pada pengembangan kualitas kehidupan. Malah dunia korporasi punya riset yang lebih mumpuni demi menjaga iklim inovasi serta tetap jadi pemenang di abad pengetahuan.

“Saya pikir Unhas bisa di mana saja. Bukankah gelora pantaimu, lembah gunungmu, menjadi tempat mengabdi?,” jawabku pada bapak itu.

Dia tersenyum. Saya mendengar dia menggumam “Ilmu Amal Padu Mengabdi.”


Jakarta, 14 Desember 2024



REVIEW: How AI Thinks


Di berbagai grup WA, orang-orang memamerkan percakapan dengan Meta AI. Berbagai pertanyaan aneh dikemukakan, misalnya kenalkan Anda dengan La Baco? Jawaban dari Meta AI akan bikin banyak orang tersenyum. 

Nampaknya orang-orang gembira melihat kenyataan kalau AI bukanlah “Kakek Segala Tahu” dalam kisah Wiro Sableng. Beberapa bulan lalu, ChatGPT muncul. Semua orang memamerkan jawaban aneh. 

Namun, saya meyakini, lebih banyak orang yang bahagia dengan ChatGPT. Para mahasiswa bodoh dan malas, mendadak hebat dalam menjawab pertanyaan. Semuamya mengandalkan ChatGPT.

Saya ingat percakapan dengan Muliadi Mau, pengajar Ilmu Komunikasi Unhas pekan lalu. Katanya, mahasiswa sekarang tak bisa lepas dari ChatGPT. Saat diiminta dosen untuk membuat pertanyaan ke rekannya dalam satu diskusi kelompok, mahasiswa akan minta bantuan ChatGT. 

Demikian pula saat menjawab pertanyaan dari rekannya (yang dibuat dengan ChatGPT), maka mahasiswa akan kembali minta bantuan ChatGPT. Di titik ini, tak ada nalar. Tak ada analisis dari hasil bacaan. Tak ada kreativitas menulis dan melahirkan ide-ide baru.

ChatGPT, Meta Ai, Copilot, hingga berbagai perangkat kecerdasan buatan lainnya menimbulkan banyak kekhawatiran. Kita membayangkan generasi yang tidak lagi membaca, tidak lagi menalar, dan hanya bisa mengetik bantuan ke ChatGPT. 

Entahlah. Bisa jadi, ini adalah wujud kekhawatiran kita melihat teknologi yang menyuapi kita hingga lupa untuk membaca, menalar, dan mencari jawaban dengan menyatukan keping demi keping pengetahuan.

Sepekan ini saya membaca buku How AI Thinks. Menurut penulisnya, Nigel Toon, kita lebih banyak khawatir soal teknologi ketimbang memahaminya. Kita kadang alpa dan malas untuk mempelajari satu inovasi, dan lebih memilih percaya kabar buruk terkait teknologi itu.

Saya suka dengan cerita penulisnya yang dahulu menderita disleksia, yang kesulitan mengeja kalimat. Tapi dia bekerja keras untuk menyederhanakan semua hal, hingga akhirnya dia berhasil menjadi CEO perusahaan semikonduktor. 

Apa arti "berpikir" dalam konteks AI? Nigel Toon menawarkan definisinya sendiri tentang kecerdasan: "Kemampuan untuk mengumpulkan dan menggunakan informasi untuk beradaptasi dan bertahan hidup."

Manusia berpikir, maka manusia ada. Sementara komputer berbeda. Komputer menyesuaikan buku aturannya sendiri berdasarkan perubahan dalam informasi yang diterimanya, dengan cara yang sama seperti hewan beradaptasi berdasarkan perubahan lingkungan yang diamati melalui data sensorik.

Cara kerja AI mengikuti tahapan: (1) masukkan sensorik mentah atau data, (2) kenali hubungan antar data kontekstual hingga jadi informasi, (3) memahami hubungan antar informasi hingga jadi pengetahuan, (4) memahami hubungan antar pengetahuan hingga menjadi kecerdasan. Sesimpel itu.

Buku ini menawarkan tamasya di jagad AI. Saya cukup familiar dengan beberapa nama yang dibahas di sini. Di antaranya adalah Alan Turing, sang penemu komputer. Pernah lihat film The Imitation Game yang dibintangi Benedict Cumberbatch

Saya juga baru tahu, di masa-masa awal komputer dibuat, perempuan memegang peran penting. Di masa itu, laki-laki mengerjakan perangkat keras, sedangkan perempuan menguji dan menyempurnakan perangat lunak. 

Inilah sebab mengapa gangguan pada komputer disebut “bug” atau serangga. Sebab pada masa itu, seorang perempuan Grace Hopper mengalami gangguan komputer saat menemukan serangga di dalam mesin. 

Begitulah, buku ini tidak meramalkan apa yang terjadi di masa-masa mendatang. Bagian akhir lebih banyak basa-basi, misalnya menyatakan kita harus mengontrol AI agar tidak jadi masalah di masa depan. Saya pikir, saat ini saja AI sudah jadi masalah yakni menghilangkan kreativitas semua orang, dengan cara mencari jawaban instan.

"Setiap organisme hidup di planet ini, semuanya bergantung pada kita," kata Toon. AI pun bergantung pada kita. Iya, bergantung pada kita. 

Tapi apa yang kita lakukan agar kreativitas dan nalar tetap tumbuh di era di mana ChatGPT terus memberi jawaban final pada mahasiwa kita?



MATTHES


Jauh dari Leiden, Belanda, dia datang ke selatan Celebes. Di tahun 1847, Benjamin Frederick Matthes diminta pengurus Nederlandsch Bijbelgenootschap atau organsiasi Alkitab Belanda untuk meneliti sastra Bugis, termasuk I La Galigo,. 

Sebagai misionaris, dia juga diminta menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Bugis Makassar. Di masa itu, dia lulusan terbaik Sastra Semitik dan Teologi di Universitas Leiden. Dia menerima tugas itu dengan membawa kekhawatiran. Dia tidak banyak mengenal tanah Celebes, tanah di mana para lelakinya mudah menghunus badik dan memburai usus.

Matthes seorang ilmuwan yang tekun. Dalam petualang di bumi Celebes, dia mengumpulkan banyak naskah, serta belajar bahasa Bugis Makassar. Di tahun 1852, dia berjumpa Arung Pancana Toa atau Colliq Pujie, yang kemudian membantunya untuk menulis ulang tradisi lisan La Galigo ke dalam lembar-lembar aksara.

Kini La Galigo menjadi kanon sastra dunia. Kisahnya dipentaskan dalam teater di berbagai kota besar dunia. Dari Madrid hingga Lisbon. Semua orang menyebut nama Colliq Pujie, tapi jarang yang menyebut nama Matthes. Apakah karena dia seorang kristiani dan penginjil yang taat?

Novel Matthes ini memotret kisah Benjamin Frederic Matthes. Novel ini menyajikan kisah hidup seorang penginjil, yang dimulai dari Leiden hingga ke tanah Celebes. 

Saya bayangkan betapa sulitnya melahirkan novel ini. Penulis mesti membaca data demi data, mengunjungi gereja-gereja dan seminari, setelah itu menyajikan kisah penjelajahan yang dipenuhi semangat gold, gospel, and glory.

Ini bukan novel tentang kejamnya kolonialisme, tetapi menyajikan potret perjalanan seorang misionaris di tanah yang baru, perjumpaan dengan cendekia dan sastrawan, serta kolaborasi untuk melahirkan sastra dunia.

Ini novel kedua dari penulis Alan TH yang saya baca. Beberapa tahun lalu, saya membaca Sungging, yang isinya serupa membaca kisah silat penuh filosofi di era Majapahit. Saya dengar sambungan novel itu akan terbit tahun ini dengan judul Bubat. 

Recommended!


Berkunjung di Rujab Gubernur Sulsel


Di sore yang cerah, saya berkunjung ke Rujab Gubernur Sulsel. Saya jumpa Prof Zudan Arif Fakrulloh yang kini menjabat sebagai Pj Gubernur Sulsel. 

Zudan menggantikan Pj Gub sebelumnya yang memicu banyak tikai dan tengkar dengan politisi. Saya bayangkan betapa berat pekerjaannya sebab harus merajut ulang komunikasi dengan banyak kalangan.

Tapi Zudan menjalaninya dengan baik. Zudan tipe pemimpin yang tidak banyak bicara, meskipun dia sendiri penuh pengetahuan. Dia tidak grusa-grusu. Dia hadapi semua orang dengan senyuman. Dia seorang Jawa yang setenang sungai Bengawan Solo.

Setelah bekerja, perlahan dia merebut simpati publik. Rupanya dia sangat memahami karakter orang Sulawesi. Sebelumnya dia jadi Pj Gubernur di Gorontalo dan Sulbar.

“Saya belajar dari tarian orang Bugis Makassar. Lihat Pakkarena. Gendangnya nyaring dan menghentak, tapi gerakan penarinya justru lembut dan tenang. Di situ karakter orang Sulawesi. Mereka terlihat kasar dan berani, tapi justru di dalam, mereka sangat lembut,” katanya.

Saya tertegun. Rupanya dia jeli dan tekun memandang tarian. Pqdahal banyak pejabat yang melihat itu hanya sebagai tarian belaka. Zudan memetik hikmah dari gerak. Dia menyerap banyak pelajaran.

Seusai berbincang, dia mengajak kami untuk melihat kuda di rujab gubernuran. Rupanya dia memelihara tiga ekor kuda jeneponto di halaman rujab. Setiap sore, dia kerap menemui kuda-kuda itu, mengelus-elus punggungnya, setelah itu mengajaknya bercakap.

Saya serasa melihat tarian filosofi yang kental. Manusia bisa liar dan berlari kencang, namun kelembutan dan ketenangan, juga seulas senyum, selalu bisa membuat manusia tunduk dan bersahabat.

Di titik ini tidak mengejutkan jika Zudan barusan mendapatkan penghargaan sebagai Pj Gubernur terbaik se-Indonesia.

Di sore yang cerah ini, saya melihat ada kesamaan antara saya dan Zudan. Dia suka kuda. Saya suka kucing. Dia suka mandikan kuda. Saya suka mandikan kucing. 

Mandikan kucing yaa. Bukan mandi kucing.


Dikunjungi Konjen Jepang


DI kota Makassar, saya kedatangan tamu, seorang pria Jepang. Namanya Ohashi Koichi. Dia bekerja sebagai Konsulat Jenderal Jepang. Dia bercerita tentang sejarah serta pertautan Makassar dan Jepang.

Di tempat lain, orang Jepang identik dengan penyiksaan dan kerja paksa. Tapi di Kota Makassar, sejarah Jepang tidak sekelam itu. Prajurit Jepang malah bersahabat dengan masyarakat. 

“Itu karena mereka yang ke Makassar adalah angkatan laut. Mereka punya pendekatan berbeda,” kata sejarawan Meta Sekar Pudjiastuti yang ikut mendampingi Ohashi.

Sejarah Jepang cukup panjang di tanah ini. Mereka berdatangan sejak tahun 1897 di masa HIndia Belanda. Pada masa itu, hasil alam dan minyak bumi dikirim ke Jepang. Pernah saya membaca catatan, saat JP Coen membantai orang Banda, ada beberapa samurai yang menjadi algojonya.

Di Makassar, orang Jepang membaur dengan masyarakat. Malah mereka membuka toko klontong, hingga bengkel sepeda. Meta meyakini, becak bermula dari modifikasi yang dilakukan orang Jepang di bengkel sepeda di Kota Makassar.

Saat jumpa Ohashi dan Meta, saya sampaikan banyak nama-nama orang tua di Buton yang pakai nama Jepang. Bapak saya bernama Taisho, yang merupakan nama senam di Jepang. Nenek saya cerita kalau bapak lahir saat tentara Jepang sesang senam.

Seorang paman saya bernama Heiho atau dipanggil La Hei yang merupakan nama pasukan rekrutan Jepang. Ada juga beberapa guru saya yang bernama Jepang. Di antaranya adalah Amura. Mungkin, bagi orang tua di masa itu, nama Jepang cukup keren.

Begitulah, orang-orang tua di Buton memberi nama anaknya berdasarkan peristiwa saat lahir. Adik bungsu bapak saya bernama La Popi karena lahir saat Pemilu 1955, yang oleh orang Buton dinamakan saat popili atau memilih.

“Ah, yang benar?” kata Ohashi. Saya lalu memperlihatkan nama bapak saya di grup WA keluarga. Saat dia membaca nama bapak, lamgsung dia teriak: “すごいね.”Sugoi ne. Hebat. Luar biasa.

Saat saya ceritakan diskusi ini di grup keluarga, anak saya Ara, yang mulai suka bikin komik, kaget juga pas tahu nama kakeknya. Tiba2 dia berkata: “I'm stealing that name for my character. it sounds cool.” 

Really?


Kisah Miliader


Anggur mahal disiapkan. Satu penthouse mahal juga telah disewa. Hari itu, dua peneliti Stanley dan Dako hendak mewawancarai 10 orang manusia super kaya, dengan pendapatan sekitar 33 miliar rupiah setahun. Orang kaya yang diwawancarai adalah mereka yang memulai karier dari bawah atau self made millionaire.

Pria pertama yang datang adalah Mr Bud. Usianya 61 tahun. Dia datang dengan memakai mantel murah, padahal kekayaannya ditaksir mencapai 10 juta dollar AS.  

“Mr Bud, apakah Anda mau minum anggur 1970 Bordeaux?” tanya Stanley.

“Tidak. Saya hanya mau minum Wiski Skotch dan bir gratis,” katanya. 

Stanley dan Danko tercengang. Di kultur masyarakat barat, Wiski Skotch adalah minuman kelas menengah bawah, Bir lebih bawah lagi. Mungkin, Mr Bud seorang yang nyentrik dan tidak suka pamer.

Namun 9 orang super kaya lainnya tak jauh berbeda. Mereka rata-rata tidak pakai outfit bermerek. Mereka tampil apa adanya. Tidak menonjolkan status sosial. Ke mana gambaran orang kaya memakai mantel Gucci, Versace, Channel, Dior? Ke mana jam tangan Rolex atau Patek Phillipe mereka?

Saya menemukan kisah ini dalam buku Ngomongin Uang karya Glenn Ardi, yang isinya senada dengan buku Psychology of Money, yang ditulis Morgan Housel.

Setelah melakukan wawancara mendalam, Stanley dan Dako menyimpulkan, para self made millionare atau jutawan yang memulai dari bawah, adalah mereka yang punya gaya hidup jauh di bawah pendapatan serta gaya hidup mereka. 

Dari hasil survei pada 500 keluarga kaya, mereka tidak tinggal di kawasan elite. Mereka tinggal di perumahan biasa. Mayoritas percaya, memiliki kemerdekaan finansial adalah hal yang jauh lebih penting daripada mempertontonkan gaya hidup mewah.

Pertanyaannya, buat apa kaya tapi tidak dinikmati?

Orang-orang kaya yang diteliti Stanley dan Dano, berpandangan, memiliki kemerdekaan finansial, jauh lebih penting ketimbang mempertontonkan hidup mewah. Mereka menilai, kesuksesan itu penting, tetapi simbol-simbol kesuksesan itu tidak penting.

Lantas, golongan mana yang selama ini terlihat pamer dengan gaya hidup mewah dan aksesori serba mahal?

Nah, kedua peneliti ini memperkenalkan kategori baru, yakni High Earners, Not Rich Yet (Henry’s). Inilah karakteristik orang kaya baru, yang konsumtif boros, dan punya hasrat belanja impulsif. Mereka punya pendapatan tinggi (high income earners), tetapi tidak berhasil mencapai status miliader. 

Yang membedakan dengan miliader beneran adalah kemampuan untuk menahan uang selama mungkin di genggaman. Yang membedakan adalah kemampuan mengontrol pengeluaran. 

Bisa menahan pengeluaran 1 juta, saat punya uang 2 juta adalah hal biasa. Tapi bisa menahan 2 juta, saat uang di tangan 20 juta adalah hal luar biasa. Lebih hebat lagi, jika menahan 2 juta saat memiliki uang 10 miliar. Itu keren. Hal-hal sederhana inilah yang menjadi kunci untuk jadi miliader.

Kata Stanley dan Darko, para Henry’s memiliki persepsi mental yang berbeda dengan self made billionaire.  Bagi para Henry’s, menjadi kaya adalah soal menampilkan gaya hidup mahal. Jika ada uang, semuanya harus dinikmati untuk konsumsi. Uang itu susah dicari, maka harus dinikmati selagi bisa. Mereka baru akan berhenti mengonsumsi jika uang sudah habis.

Jadi, crazy rich yang selama ini terlihat pamer, pada dasarnya bukan orang kaya banget. Mereka pamer karena ingin dikira kaya. Orang kaya beneran tidak butuh pengakuan orang lain. Saya ingat cerita seorang teman tentang Gunawan Lim, bos Harita Group, yang jika tiba waktu makan, maka minta dipesankan nasi bungkus dari pedagang kaki lima di dekat kantornya.

Sampai di sini, saya hentikan membaca buku ini. Saya menemukan rahasia mengapa hidup begini-begini saja. Saya bukan tipe boros, sebagaimana Henry’s. Saya tipe orang yang uangnya belum ada, tapi rencana belanja sudah tersusun rapi.

Buku ini menjadi panduan dan peta jalan untuk para pemula di dunia literasi keuangan. Tak perlu menjadi milader, tetapi setidaknya punya rencana hendak ke mana. Satu pelajaran yang saya petik dari buku ini, rata-rata miliader punya perencanaan atau budgeting yang bagus. Mereka tahu pengeluaran bulanan, serta investasi apa yang harus dilakukan.

Tetiba teringat seorang kawan, “Apa yang mau diinvestasikan kalau makan tiap hari saja susah?” Hmm. Benar juga.


RETNO yang Mengaku Bukan Siapa-Siapa


DI masa sekolah menengah, dia menjadi saksi bagaimana ibunya pindah dari rumah kontrakan satu ke rumah kontrakan lain. Retno Marsudi selalu berkaca-kaca setiap mengingat peristiwa ketika dia dan keluarganya dipaksa pindah dari rumah kontrakan.

Bapaknya hanya seorang karyawan swasta. Ibunya Retno Werdiningsih, bekerja di satu SMA, sembari mengelola bisnis katering. Mereka bukan keluarga berpunya. Selalu dalam keterbatasan.

Retno masih ingat persis bagaimana ibunya menabung dalam bentuk emas. Setiap ada anaknya yang hendak sekolah, emas akan dijual. Setiap ada rezeki, pasti akan dibelikan emas lagi. 

Beruntung, Retno mendapat beasiswa untuk kuliah di Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada (UGM). Di sini, dia menjadi sosok yang rajin kuliah, rajin ke perpustakaan, dan rajin ibadah. Hngga akhirnya lulus program ikatan dinas dari Kementerian Luar Negeri (Kemenlu). 

Dalam buku Saya Bukan Siapa-Siapa: Rekam Jejak Retno Marsudi, saya menemukan bahwa Retno bukanlah sosok yang ditempa aktivisme. Dia tipe orang yang kerjanya belajar dan belajar. Buktinya, dia lulus setelah belajar selama 3,5 tahun, dan langsung bekerja.

Da sosok pembelajar dan pekerja keras. Dia tahu keterbatasan keluarganya sehingga dia menempa dirinya untuk terus menaikkan kualitas. Dia meyakini, kualitas akan membawa dirinya melenting di tengah mayoritas.

Di Kemenlu, kariernya juga melejit. Dia mengakui, kementerian ini tadinya identik dengan nepotisme. Banyak yang masuk karena titipan pejabat. Banyak yang tidak berkualitas, sementara harus menyandang amanah yang tidak ringan sebab membawa nama bangsa ke pentas dunia.

Lagi-lagi, kualitas diri inilah yang membawanya mengangkasa. Kariernya terus melejit. Di usia 42 tahun, dia sudah diangkat menjadi Duta Besar RI untuk Norwegia dan Islandia. Hingga akhirnya takdir menyiapkan jalan agar dirinya menjadi perempuan pertama di republik ini yang jadi Menteri Luar Negeri.

Padahal, sebagaimana diakuinya sendiri, dia bukan siapa-siapa. Dia bukan titipan orang lain. Dia bukan petugas partai. Dia pribadi yang mengasah dirinya, pekerja keras, dan punya kapasitas yang membuatnya melenting.

Saya cukup menikmati buku ini. Saya suka membaca buku mengenai figur atau sosok. Saya percaya, semua orang memiliki jalan pedang masiing-masing. Saya percaya, semua tokoh penting pasti memiliki awal yang sama dengan orang lain, namun terus mengasah diri dan berkembang, hingga akhirnya menggapai level yang terlihat susah didaki. 

Saya percaya, di balik orang hebat, selalu ada pribadi dan tunas yang terus tumbuh dan berkembang, hingga jadi pohon rindang, dengan dahan menggapai mega-mega.

Di mata saya, Retno berbeda dengan menteri lain, khususnya menteri dari jalur partai politik. Dia terlihat tak pernah sesumbar. Dia tak pernah bicara tinggi. Kalimatnya tertata. Dia selalu fokus pada substansi mengenai pekerjaannya.

Retno membuka mata semua anak bangsa, bahwa perempuan bisa melenting dan mencapai karier tertinggi. 

Sayang sekali, dia sudah jarang di layar kaca. padahal, setiap kali dia muncul, saya selalu menggumam bait-bait pengharapan agar kelak anak perempuan saya sepertinya. Kepada semesta, saya berbisik agar kelak Ara dan Anna bisa seperti Retno Marsudi. 

Semoga.


Percakapan di Warung Parende



Setiap kali tiba di kampung halaman, saya selalu mencari kuliner parende. Ikannya selalu segar. Apalagi dinikmati di tepi laut sembari merasakan angin sepoi-sepoi, dan melihat anak-anak bermain di laut sana.

Di warung kecil ini, semua orang datang dan pergi. Sejam di warung ini, saya menyimak apa saja yang dibahas. Yang menarik, pembicaraan paling hangat adalah soal pilkada. Saya terkesima. Dari Kendari hingga Baubau, semua membahas hal yang sama. 

Orang-orang tak membahas seperti apa wajah daerah di masa depan. Orang-orang membahas siapa calon gubernur dan calon bupati terkaya. Semua membahas pundi-pundi. Semua membahas timbunan uang dari para calon kepala daerah.

Semua bermula dari dibukanya banyak tambang. Bersamaan dengan itu, banyak orang kaya bermunculan, dengan memakai mobil-mobil mewah dalam kota. Para kepala daerah ketiban rezeki karena menerima setoran, bahkan mengatur para pemain tambang.

Duit tambang telah membutakan mata banyak orang. Semua lupa pada daya dukung ekologis yang kian parah. Pertanian dan perkebunan ditinggal petaninya karena lahannya diperjualbelikan sebagai konsesi tambang.

Para calon kepala daerah adalah para pemain tambang. Semua membungkus aktivitasnya dengan kebaikan-kebaikan. Disebutnya telah memberangkatkan banyak orang untuk umroh. Disebutnya telah memberi banyak beasiswa. 

Dia lupa betapa banyak biaya sosial yang mesti ditanggung warga karena hilir mudik truk dan kapal2 tongkang yang menggaruk bumi Sulawesi.

Calon kepala daerah lain mengangkat isu pribumi. Disebutnya orang lain sebagai pendatang yang hendak mengeruk bumi Sultra. Tapi, rekam jejaknya adalah penambang, yang juga mengeruk bumi, demi membuka jalan untuk keluarganya di berbagai arena pilkada. 

Kandidat lain juga setali tiga uang. Semua menyebut punya tambang, dan menjadikannya bargaining saat jumpa elite partai di Jakarta.

Di Kendari, susah mencari kamar di berbagai hotel. Di depan hotel, ada banyak mobil-mobil double gardan parkir. Bahkan rumah-rumah karaoke penuh dengan orang yang lagi banjir duit tambang. 

Di sini, di kota Baubau, tak jauh dari patung pahlawan nasional Oputa yi Koo, saya menyimak percakapan di warung makan. Ada rasa sedih dan miris membayangkan daerah ini di masa depan. Mereka yang mengeruk bumi akan membawa mentalitas yang sama saat menjabat. Sayangnya, kita lupa dan alpa, malah larut dengan saweran saat jumpa calon kepala daerah.

"Ode, ini parende kepala ikan. Silakan dinikmati," kata ibu itu saat mengantarkan pesanan. Saya menatap kepala ikan ini. Tetiba teringat riset di Jepang tentang ikan-ikan yang terkontaminasi buangan galian tambang. Tapi, saya lebih memilih mendengar suara perut yang sudah tak sabar.

Sembari mengunyah, saya menggumam, "Mambaka."


Jumpa Marketing CNN


Setiap kali berkunjung ke kantor CNN, pria ini akan menyambut dengan senyum lebar. Namanya Bahar. Posisinya adalah manager penjualan. Dia memimpin barisan sales-sales yang rata-rata muda dan cantik.

Seorang kawan di CNN bercerita kalau di musim kampanye pileg dan pilpres, pria ini sukses membawa pemasukan hingga 15 miliar. Jumlah yang fantastis. Petinggi satu partai membayar angka segitu dengan dollar.

Saya baru tahu kalau media-media bisa menjalankan peran sebagai agency. Anda tak peru mengontak semua media. Cukup di satu media, yang nantinya akan membagikan “kue” secara adil ke berbagai media lainnya.

“Saya ini tidak pintar. Saya bukan dari kampus besar. Modal saya cuma satu. Bejo. Beruntung,“ katanya saat saya tanya apa rahasianya. Saya terdiam. Saya pikir penjelasan itu terlampau sederhana. Saya pikir bukan sekadar beruntung. 

Saya ingat pertama kenal pria ini setahun lalu. Dia datang bersama beberapa marketing lain. Saat itu, tak ada closing atau transaksi. Tapi dia tetap menjaga pertemanan via WA. Dia rajin menanyakan kabar, serta selalu mengajak ketemuan.

Hingga di satu titik, saya mulai merasa tidak enak karena belum bisa berkolaborasi. Entah kenapa, saya merasa harus memberikan sesuatu atas kegigihan pria ini. Dia punya persistensi untuk terus menyapa. Itu menjadi semacam tekanan buat saya untuk membuka peluang.

Saya teringat Joe Girard, penjual mobil paling sukses di Amerika Serikat. Bayangkan, dalam sebulan ia bisa menjual mobil hingga 180. Bayangkan pula, berapa komisi yang didapatkannya. 

Rahasianya apa? Dia selalu berusaha mengenali siapa pun konsumennya. Dia menghafal nama mereka, lalu secara rutin merawat pertemanan. Dia secara rutin mengirimkan kartu ucapan kepada semua yang pernah dikenalnya. 

Tak hanya itu, ia juga tak sungkan-sungkan untuk menelepon dan menyampaikan selamat ulang tahun. Ia punya daftar lengkap tentang nama dan tanggal ulang tahun. Dia hafal hal-hal kecil tentang pelanggannya. 

Mulai dari jumlah dan nama anak, alamat rumah, hingga nama anjing yang dipelihara pelanggan. Setiap bertemu, ia akan menjadikan semua informasi itu sebagai pintu masuk untuk berdialog. Dia disukai banyak orang. 

Pria di depan saya ini mengingatkan pada Joe Girard. Saat bertemu dengannya, dia lebih banyak mendengar. Dia bisa buat orang lain nyaman, lalu perlahan mulai membisikkan jualannya. 

“Saat saya ketemu klien, saya lebih banyak mendengar. Saya tidak buru-buru tawarkan produk. Bahkan tiga per empat dari pembicaraan adalah mendengar apa maunya klien. Biarpun tidak jadi closing, saya akan jadi teman yang mendengarkan,” katanya.

Kembali saya teringat pelajaran dari Marketing 5.0. Seorang marketeer sejati membangun relasi-relasi humanis dengan siapa saja. Pemasar hebat akan meniru akhlak Rasulullah yang tidak sekadar berdagang, tapi membangun trust dan kepercayaan. 

Bangunlah pertemanan. Kalaupun ada closing atau transaksi, anggap saja sebagai bonus. Toh, semuanya sudah digariskan. Mengutip Jakob Oetama, semua yang terjadi di muka bumi adalah Providentia Dei. Penyelenggaraan Ilahi.

“Gimana Bang? Kapan kita cari yang bening-bening?” tanyanya.

“Maksudnya apa nih? Kaca atau air? jawabku.

“Ah, abang pura-pura tidak tahu. Pinjam dulu seratus.”



REVIEW: Leap: Menuju Inovasi Berkelanjutan


Berkali-kali kalah, namun dia tidak pernah menyerah. Pelompat jauh Mike Powell selalu berada di belakang Cark Lewis. Dia seakan ditakdirkan sebagai pecundang. 

Namun dia tak pernah menyerah. Dia terus mengasah ototnya di gym. Dia mengasah taktik dan strategi di lintasan. Dia pun selalu membayangkan akan melompat hingga titik terjauh dan menciptakan rekor dunia.

Di tahun 1991, di usia 23 tahun, dia sukses mencapai mimpinya. Dia menciptakan rekor dunia baru, dan berhasil mengalahkan Lewis. Kisah Powell menjadi pintu masuk untuk menjelaskan bagaimana transformasi bisnis bekerja. 

Dalam buku terbaru Rhenald Kasali berjudul Leap, bisnis punya siklus seperti pelompat jauh. Dimulai dari fase Run Up, di mana perusahaan baru mulai dan mengasah SDM, serta memanam komitmen untuk mengelola proyek lebih besar.  

Selanjutnya, fase Flight, di mana perusahaan melayang jauh dan mengambil risiko. Perusahaan harus agile atau lincah mengelola semua risiko. Setelah itu Landing, di mana perusahan masuk fase aman, lalu menvari peluang dan partner baru agar tetap melenting.

Di buku ini, saya menemukan banyak kisah bisnis, yang ternyata bergeser dari visinya ketika pertama didirikan. kalbe Farma dulu cuma berdagang obat dari garasi rumah. 

Pemiliknya merasa tidak akan pernah melompat, hingga memberanikan diri untuk membangun pabrik. Kini, perusahaan itu menjadi penyedia solusi kesehatan yang terintegrasi.

Samsung yang didirikan Lee Byung-chul awalnya cuma berbisnis makanan, tekstil, asuransi, dan sekuritas. Perusahaan ini melakukan leap dengan masuk ke peralatan elektronik. Kekuatan perusahaan ini adalah memiliki tim deainer dengan skill dewa, sehingga produk biasa-biasa bisa dikemas menjadi begitu menarik. 

Kekuatan Samsung adalah menempatkan desain, perpaduan estetika, modernitas, dan fungsi, sebagai backbone semua produknya.

Nokia awalnya perusahaan pembuatan bubur kertas, lalu melakukan Leap dengan beralih ke produk telekomunikasi.Microsoft awalnya mereparasi komputer di garasi rumah, kemudian melakukan Leap dengan meluncurkan sistem operasi Windows 1 hingga Windows 95 yang inovatif.

Google awalnya perusahaan search engine yang kemudian berubah jadi perusahaan teknologi dengan ragam produk teknologi paling lengkap, inovatif, dan praktis. 

Demikian juga Tik Tok, yang awalnya perusahaan penyedia media sosial, menjadi perusahaan yang memberi pengalaman berjualan dan belanja.

Yang paling membuat saya tertarik adalah kisah Alfamart yang didirikan seorang lulusan SMP Djoko Susanto, yang bisnisnya jualan rokok, kemudian diajak gabung oleh Putera Sampoerna. 

Djoko minder karena dirinya cuma lulusan SMP. Tapi Putera Sampoerna tetap percaya dengannya, hingga diajak untuk membangun usaha ritel Alfa Gudang Rabat.  

Setelah itu Take Off dengan membangun Alfamart. Tahun 2002, Djoko memiliki 17.813 gerai Alfamart, serta 2.985 milik anak peusahaan. Bahkan dia mendirikan 1.400 gerai Alfamart di Filipina.

Pelajaran penting yang saya dapatkan, bisnis harus selalu dinamis. Mindset harus selalu berubah, sehingga selalu relevan di setiap zaman. 

Di titik ini, keberanian mengambil risiko serta passion dalam membaca tanda-tanda zaman menjadi penting sebagai pembeda. Di titik ini, berlaku kalimat, “If you risk nothing, then you risk everything.” 

Persis kata Neil Amstrong saat pertama kali menginjak kaki di bulan, “That’s one small step for a man, one giant LEAP for mankind.”

Bacaan bagus di akhir pekan. Ayo melenting Abang!



Mengapa Orang Buton Memuliakan Anak Yatim di Bulan Muharram?


Di Pariaman, setiap 10 Muharram, orang-orang melaksanakan ritual Tabuik untuk mengenang Asyura. Di Pulau Buton, orang mengenangnya dengan ritual pekandeana ana-ana maelu atau memberi makan anak yatim. Orang Buton tidak larut dalam sedu sedan saat mengenang peristiwa 10 Muharram sekian abad silam.

Mereka menatap masa depan, sembari menguatkan tali-temali solidaritas sosial.

***

BAPAK tua itu membaca doa dengan isak tangis. Dia seorang lebe, seorang ulama yang memimpin doa bersama. Dia komat-kamit membaca doa di hadapan talam yang menyajikan banyak makanan. Puluhan orang mengelilingi talam itu, ikut berdoa bersama bapak tua itu. Semua khusyuk.

Hari itu, ritual haroa terasa sedih. Ini bulan Muharram. Haroa terasa lebih sedih sebab mengenang sesuatu yang terjadi di masa silam. Sekitar 14 abad silam, terjadi peristiwa asyura, sebuah tragedi terjadi nun jauh di Karbala. Akibat tragedi itu ada banyak duka, khususnya bagi anak-anak yang kehilangan ayah.

Di kalangan orang Buton, haroa berasal dari kata ha (ayo) dan aroa (hadapi). Yang dihadapi adalah Allah dan Rasul. Saat haroa, semua orang khusyuk berdoa, berserah diri di hadapan Allah, menyampaikan cinta kasih dan rintihan suci.

Kata seorang ulama di Buton, yang dihadapi dalam haroa bukan hanya Allah dan Rasul, tetapi juga mia dadi te mia mate (orang hidup dan orang mati). Masyarakat meyakini, mereka yang meninggal tak benar-benar meninggal. Mereka menjadi sumanga, spirit yang terus mendampingi manusia hidup. Mereka turut hadir saat haroa. Konon, mereka menyaksikan keluarganya.

Haroa bisa digelar hingga belasan kali dalam setahun. Ada haroa yang digelar di bulan-bulan tertentu, misalnya maludu (maulid), rajabu (Rajab), Nisifu Sya’ban (Sya’ban), hingga Ramadhan. Ada juga haroa yang digelar untuk menandai peristiwa kehidupan, misalnya alaana bulua (akikah), pedole-dole (mendoakan bayi), posusu (ritual untuk anak perempuan), posuo (pungitan), kawia (kawinan), dan posipo (menyuapi).



Ada pula haroa untuk kematian, mulai dari menguburkan hingga pomaloa (malam tahlilan). Tak hanya itu, saat bangun rumah, ada banyak ritual haroa yang dilakukan. Demikian pula saat hendak membuat kapal, lalu melabuhkannya ke laut.

Di bulan Muharram, saat ritual pekandeana ana-ana maelu, anak-anak yatim menjadi pusat perhatian. Sepasang anak yatim duduk di dekat bapak tua yang membacakan doa.

Sebelumnya, sepasang anak yatim itu dimandikan dengan air asyura, atau air yang telah dibacakan doa sehari sebelumnya. Mengapa sepasang? Ada dua tafsir yang saya temukan.

Pertama, ada yang mengatakan, sepasang ini adalah representasi dari kelompok bangsawan (kaomu) yang direpresentasikan dengan gelar La Ode dan Wa Ode, dan kelompok rakyat kebanyakan (walaka). Ini adalah dua dari tiga lapis sosial orang Buton.

Kedua, ada pula yang mengatakan, sepasang itu adalah lambang dari Hasan dan Husain, dua cucu tersayang Baginda Rasulullah.

Sepasang anak itu dimandikan, dibasahi rambutnya, diusap-usap, dan dikenakan pakaian yang bagus. Semua yang hadir mendoakan mereka. Setelah itu, semuanya menyalami mereka lalu menyuapkan makanan, kemudian memberikan pasali, berupa amplop berisi bantuan.

Mengapa di bulan Muharram? Seorang ulama bercerita, ada banyak pesan yang hendak dititipkan dari generasi ke generasi. Dia menyebut banyaknya anak-anak yang yatim saat Husain, cucu Rasulullah, meninggal di Karbala, sekitar 14 abad silam. Di antara anak yatim itu adalah Ali Zainal Abidin.

Ali Zainal Abidin harus tetap hidup untuk melanjutkan risalah kebaikan dari ayah, kakek, dan kakek buyutnya. Ali Zainal Abidin mengemban tugas yang berat sehingga dia perlu didukung dan dikuatkan. Dia perlu dibangkitkan semangatnya agar tetap membawa risalah agama Islam.

Dalam buku Haroa dan Orang Buton, yang ditulis Kamaluddin dkk, haroa saat Muharram memiliki makna yang mendalam. Konon, tradisi ini muncul di era pemerintahan Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin (1824-1851). Pernah, satu masa Sultan Idrus Kaimuddin bertanya pada orang dekatnya:

“Padamo sambaheya komiu?” Apakah kalian sudah sembahyang? tanyanya.

“Padamo Waopu”. Sudah Baginda.

 “Komanga ana maelu yi tangana kampo siro padhamo abawakea hakuna?”

Bagaimana anak yatim di tengah kampung, apakah mereka sudah diberikan haknya?

Semua menjawab belum. Saat itu juga, Sultan Idrus membacakan Surah Al Maun 1-7. “Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Yakni orang yang menghardik anak yatim, dan tidak memberi makan orang miskin....”

Mulai saat itulah, semua anak yatim akan disantuni setiap 10 Muharram. Mereka diperlakukan bak raja. Semua orang tergerak untuk menyantuni mereka, sekaligus membersihkan jiwa (pekangkilo).

Pesan Tersirat

Dulu, ritual haroa pekandeana ana-ana maelu dilakukan di rumah warga. Kini, ritual ini dilakukan secara kolosal oleh pemerintah daerah, yang dilakukan secara kolosal di satu aula, dan menghadirkan ratusan anak yatim.

Di satu media online, saya membaca liputan tentang Pemerintah Kabupaten Buton dan Pemerintah Kota Baubau yang menggelar ritual di aula Rujab Bupati dan Walikota, serta menghadirkan Syara dari Masjid Agung Keraton Buton.

Usai melaksanakan ritual, Asisten Satu Setda Kabupaten Buton Alimani, S.Sos., M.Si mengatakan tradisi Pakandena Ana-ana Maelu merupakan ajaran agama Islam dalam memperingati setiap tanggal 10 Muharram.

"Kegiatan ini dalam rangka memperingati 10 Muharram dan kita tahu berdasarkan sejarah bahwa kita di Kesultanan Buton itu dalam memperingati hari 10 Muharram itu selalu dengan memberikan makan kepada anak yatim," ucap Alimani.


Ritual ini ‘naik kelas’, sebab bukan lagi dilakukan di rumah, tetapi juga menjadi agenda pemerintah kabupaten/ kota.

Ritual ini membawa pesan yang teramat dalam. Ritual ini menghubungkan manusia hari ini dengan masa silam. Manusia hari ini menyerap semua hikmah dan pembelajaran masa lalu agar tidak terulang lagi di masa sekarang.

Di Nusantara, ritual mengenang asyura ini bisa ditemukan jejaknya dalam berbagai kebudayaan. Masyarakat Ternate membuat bubur asyura untuk dimakan anak yatim. Masyarakat Bengkulu mengenangnya dengan tirual Tabot.

Orang Pariaman melakukan ritual Tabuik.  Orang Buton mengenalnya dengan ritual pekande-kandeana ana-ana maelu. Semua ritual ini bertujuan untuk merawat ingatan pada satu peristiwa, membangun benang merah dengan peristiwa itu, serta membangun komitmen di masa kini agar peristiwa serupa tidak terjadi.

Meskipun orang Buton juga bersedih mengenang peristiwa 14 abad silam, ritual mereka fokus pada putra Husain yakni Ali Zainal Abidin.

Pesan kuat yang bisa dipetik adalah menangisi kematian memang penting, tapi jauh lebih penting merawat kehidupan, memberinya semangat dan motivasi kuat untuk tetap merawat tradisi kebaikan, serta menghadapi masa depan.

Dengan memberi makan pada anak yatim, yang merupakan simbol dari Ali Zainal Abidin, leluhur Buton memberi pesan kuat, bahwa masalah sebesar apapun akan terasa ringan jika semua anggota masyarakat saling membantu saling menguatkan, dan saling menjaga solidaritas sosial.

Jauh sebelum Indonesia mendeklarasikan “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara”, leluhur Buton telah lebih dahulu menyatakan anak yatim dan miskin adalah milik komunitas.

Mereka disapih dan dirawat. Mereka akan tumbuh menjadi kembang indah yang semerbak berkat dukungan kuat dari komunitas. Kelak mereka akan tumbuh dan memberi makna bagi komunitas.

Bukan mereka yang membutuhkan kita, tetapi kitalah yang membutuhkan mereka untuk membersihkan jiwa (pekangkilo) dari debu-debu keangkuhan, serta bekal mengarungi bumi yang sementara ini.

Tangkanapo.


100 Tahun Pemanfaatan Aspal Buton


Beberapa waktu lalu, saya menerima naskah berupa artikel2 ilmiah, penuh data dan tabel. Masih khas karya alumnus Teknik Sipil. Namun setelah disentuh dengan gaya storytelling dan bercerita yang renyah, naskah itu jadi buku yang asyik dan mengalir.

Kepada kawan pejabat dan ilmuwan, betapa ruginya jika tidak punya jejak karya yang abadi. Betapa malangnya melepas amanah, tanpa sempat menulis rapi semua capaian dan jejak. Betapa amat sangat rugi jika tidak pernah mengajak saya untuk kolaborasi. Cieehh…

Besok, buku ini akan diluncurkan di Hotel Westin, Jakarta. Sebagai editor, saya tak terlalu bahagia. Yang paling bikin bahagia adalah pesan yang disampaikan melalui WA: “Bang, besok wajib hadir. Siapkan kopian KTP dan NPWP. Kita cairkan.”

Sayangnya, saya lupa tanya, apakah dua atau tiga dijit? Sepertinya sih tiga dijit.


Jumpa Mahendra TvOne


Di siang yang teduh, saya dikunjungi Pak Mahendra, sales manager (manager penjualan) di TvOne. Dia datang vbersama Wulan, stafnya yang cantik.

Biasanya, ketika dikunjungi orang marketing, saya selalu perhatikan gestur, pilihan diksi, dan caranya membangun relasi. Senior tidaknya seseorang akan terlihat dari caranya melobi, caranya menyapa, bahkan caranya tertawa.

Para pemula selalu tidak sabaran untuk menjelaskan produknya. Selalu ingin closing dan transaksi. Padahal marketing adalah seni untuk meyakinkan orang lain. Marketeer hebat tidak berorientasi pada berapa uang masuk, tapi bagaimana membangun network dan pertemanan. Kalau bonding sudah kuat, closing bertubi-tubi akan jadi bonusnya. 

Saya perhatikan, Pak Mahendra memulai pembicaraan yang ringan2. Dia yakin sekali sering ketemu saya di acara pengusaha. Faktanya, saya gak pernah hadir. Saya tahu dia berusaha untuk lebih akrab. Boro2 pengusaha, aktivitas saya adalah melatih kucing.

Dia coba menyampaikan lelucon. Dalam satu buku marketing, saya pernah baca kalau seni memasarkan itu ibarat menerbangkan pesawat. Ada 11 menit krusial saat hidung pesawat hendak mengangkasa. Istilahnya critical eleven. Dalam marketing, menit-menit pertama adalah titik krusial membangun relasi. Kalau Anda sukses memikat perhatian, selanjutnya akan lebih gampang.

Saya ingat penjual obat di kampung. Di menit-menit awal, dia akan keluarkan ular. Dia akan pura2 atraksi. Padahal cuma tiup2 mic hingga muncul suara gemuruh. Setelah penonton berkumpul, ular masuk kandang. Barulah dia keluarkan obatnya.

“Gimana Ndan? Kita udah bisa bahas produk? Baiknya jangan di sini deh. Kita bahas sambil minum wine, trus ada yang bening2,” katanya dengan sorot mata jenaka.

Hmm. Gimana yaa