Kepulauan Seribu
Kepulauan Seribu adalah sebuah kepulauan yang terletak di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Indonesia. Letak Kepulauan Seribu berada di bagian utara dari Teluk Jakarta. Jumlah pulau di Kepulauan Seribu sebanyak 110 pulau dengan kawasan seluas 1.180 hektare yang memanjang dari selatan ke utara. Ukuran pulau-pulau di Kepulauan Seribu tergolong kecil dengan datarann yang landai dan terbagi menjadi beberapa gugus pulau.
Suhu rata-rata di Kepulauan Seribu adalah 27 ºC. Iklim di Kepulauan Seribu adalah tropika dengan dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Curah hujan di Kepulauan Seribu cukup tinggi dengan rentang antara 100–400 mm. Kepulauan Seribu tidak memiliki hidrologi permukaan. Ekosistem utama yang membentuk Kepulauan Seribu adalah ekosistem terumbu karang. Sementara ekosistem lainnya meliputi ekosistem hutan bakau, ekosistem padang lamun dan ekosistem perairan.
Kawasan Kepulauan Seribu dimanfaatkan untuk permukiman, penangkapan ikan, budidaya rumput laut, wisata dan taman nasional. Sebagian besar kepemilikan pulau di Kepulauan Seribu merupakan kepemilikan pribadi oleh perorangan ataupun swasta. Lahan di Kepulauan Seribu dimanfaatkan untuk aktivitas nelayan, wisata dan budidaya rumput laut. Kepulauan Seribu memiliki beberapa masalah lingkungan terutama degradasi lingkungan, kerusakan ekosistem, pengelolaan sampah dan penyediaan angkutan umum.
Geografi
[sunting | sunting sumber]Bentuk kepulauan
[sunting | sunting sumber]Nama Kepulauan Seribu tidak berarti bahwa jumlah pulau yang ada di kepulauan ini adalah seribu pulau. Jumlah pulau di Kepulauan Seribu hanya sekitar 342 pulau sudah termasuk pulau yang hanya berpasir dan pulau terumbu karang yang memiliki vegetasi maupun yang tidak memiliki vegetasi. Gugusan pulau di Kepulauan Seribu membentang di antara Teluk Jakarta dan Laut Jawa.[1]
Kepulauan Seribu terdiri dari gugusan pulau karang berjumlah 110 pulau. Pulau-pulau ini membentuk gugus pulau yang vertikal dari Teluk Jakarta hingga ke utara. Pulau yang terjauh adalah Pulau Sebira. Jarak Pulau Sebira dari pantai Kecamatan Jakarta Utara sekitar 150 km. Sebanyak 30 pulau di Kepulauan Seribu terletak di bagian barat Teluk Jakarta.[2] Ukuran pulau-pulau di Kepulauan Seribu tergolong pulau kecil. Pantai-pantai di Kepulauan Seribu memiliki rataan yang dangkal dan terlindung oleh penghalang pantai berupa karang datar dan laguna.[3]
Daratan di Kepulauan Seribu memiliki ketinggian yang landai. Sekitar 0-15% daratan di Kepulauan Seribu memiliki ketinggian antara 0-2 meter di bawah permukaan laut. Tiap pulau yang ada di Kepulauan Seribu memiliki luas yang berubah oleh kondisi pasang surut. Ketinggian pasang surut antara 1–15 meter diukur dari Pelabuhan Tanjung Priok.[4]
Perairan Kepulauan Seribu merupakan perluasan dari wilayah Teluk Jakarta. Kondisi perairannya bersifat dinamis karena keberadaan masukan air dari aliran sungai-sungai yang bermuara di Teluk Jakarta dan massa air dari Laut Jawa. Kompleksitas perairan Kepulauan Seribu ditentukan oleh kondisi ekosistem dan perikanan di Teluk Jakarta.[5]
Gugus pulau
[sunting | sunting sumber]Gugus Pulau Pari
[sunting | sunting sumber]Gugus Pulau Pari terdiri dari Pulau Pari, Pulau Kongsi, Pulau Tengah, Pulau Burung, dan Pulau Tikus. Wilayahnya terletak di Teluk Jakarta yang dikelilingi oleh terumbu karang atol. Gugus Pulau Pari memiliki perairan yang landai. Pada beberapa tempat di Gugus Pulau Pari terdapat laguna. Pulau dengan ukuran yang terbesar di Gugus Pulau Pari adalah Pulau Pari. Panjang Pulau Pari sekitar 2,5 km dengan lebar bervariasi antara 60– 400 meter. Pulau Pari dikelilingi oleh rataan terumbu karang dengan panjang berkisar antara 180– 900 meter di bagian selatan. Rataan terumbu karang juga terdapat di bagian barat dan timur Pulau Pari dan menjadi daerah pasang surut.[6]
Iklim dan cuaca
[sunting | sunting sumber]Iklim di Kepulauan Seribu adalah tropika. Suhu minimumnya adalah 21,6 ºC dan suhu maksimumnya adalah 32,3 ºC. Sedangkan suhu rata-rata di Kepulauan Seribu adalah 27 ºC.[4] Curah hujan di Kepulauan Seribu dipengaruhi oleh musim angin barat yang menyebabkan hujan lebat, dan musim angin timur yang menyebabkan kekeringan.[7] Musim barat berhembus di Kepulauan Seribu dari bulan Desember hingga Februari. Sedangkan musim timur berhembus dari bulan Mei hingga Juli. Sementara dari bulan Februari hingga Mei berhembus musim peralihan.[8]
Musim hujan di Kepulauan Seribu berlangsung selama bulan November hingga April. Jumlah hari hujan berkisar antara 10 hingga 20 hari tiap bulan. Kepulauan Seribu memiliki tingkat curah hujan yang tinggi terutama pada bulan Januari.[9] Rentang curah hujan di Kepulauan Seribu antara 100–400 mm. Cuaca yang normal di Kepulauan Seribu berlangsung selama bulan Maret hingga Mei. Kemudian pada bulan Juni–September, Kepulauan Seribu mengalami musim kemarau.[10]
Hidrologi
[sunting | sunting sumber]Kepulauan Seribu tidak memiliki sungai ataupun mata air yang merupakan sumber hidrologi permukaan. Kepadatan vegetasi sangat menentukan kualitas air tanah di Kepulauan Seribu. Air tawar hanya terdapat pada pulau-pulau dengan lapisan tanah yang tebal dengan vegetasi yang padat. Pada pulau-pulau ini, air hujan diserap oleh vegetasi dan lapisan tanah menjadi air tanah.[11]
Status administrasi
[sunting | sunting sumber]Kepulauan Seribu merupakan kepulauan yang terletak di Teluk Jakarta yang termasuk bagian utara Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.[12] Jumlah pulau yang ada di Kepulauan Seribu sebanyak 110 pulau berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1814 Tahun 1989. Luas keseluruhan pulau adalah 1.180 hektare. Dari keseluruhan pulau tersebut, hanya 11 pulau yang ditetapkan sebagai pulau yang memiliki permukiman penduduk.[13]
Surat Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 171 Tahun 2007 menetapkan lagi bahwa luas wilayah daratan Kepulauan Seribu sebesar 8,7 km2 (870 ha) dan memiliki 110 pulau. Titik koordinat wilayah Kepulauan Seribu adalah 5º10’00” sampai 5º57’00” Lintang Selatan hingga 106º19’30” sampai 106º44’50” Bujur Timur.[14]
Luas daratan Kepulauan Seribu adalah 853,75 hektare. Gugusan pulau di Kepulauan Seribu menjadi wilayah administratif dari Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.[15]
Kelurahan Pulau Tidung
[sunting | sunting sumber]Kelurahan Pulau Tidung masuk dalam wilayah Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Wilayahnya seluas 106,190 Ha.[16] Kelurahan Pulau Tidung meliputi 6 pulau yaitu Pulau Tidung Besar, Pulau Tidung Kecil, Pulau Payung Besar, Pulau Payung Kecil, Pulau Karang Beras dan Pulau Laki.[16] Keenam pulau ini dibagi menjadi 4 rukun warga dan 29 rukun tetangga. Penggunaan lahan di Kelurahan Pulau Tidung untuk permukiman, pertanian, pariwisata dan rekreasi.[16]
Ekosistem
[sunting | sunting sumber]Ekosistem di Kepulauan Seribu dan Teluk Jakarta merupakan ekosistem pantai yang dikenal sebagai Ekosistem Teluk Jakarta Raya. Bentangan ekosistem ini dimulai dari titik koordinat 106º 20'–107º03' Bujur Timur dan garis lintang selatan 5º10"–6º10". Cakupannya mencapai bagian barat Tanjung Pasir dan bagian timur Tanjung Kerawang.[17] Ekosistem di Kepulauan Seribu meliputi ekosistem terumbu karang, ekosistem perairan pantai dangkal, ekosistem padang lamun, ekosistem hutan bakau, dan ekosistem perairan lepas pantai.[2]
Ekosistem terumbu karang
[sunting | sunting sumber]Ekosistem terumbu karang sangat penting bagi Kepulauan Seribu. Keberadaan terumbu karang telah membentuk pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu melalui proses geologis dan biologis dari hewan karang di perairan dangkal.[18] Ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu mirip dengan ekosistem terumbu karang di Kepulauan Togean dan Pulau Weh. Kemiripannya dari segi jumlah spesies ikan yang menghuninya. Pada tahun 2004–2005 ditemukan sebanyak 211 spesies ikan di Kepulauan Seribu. Di Pulau Pari terdapat sebanyak 49 spesies ikan dan di dan Pulau Tidung terdapat sebanyak 78 spesies ikan. Lalu di Pulau Panggang dan Pulau Kelapa masing-masing terdapat sebanyak 109 dan 148 spesies ikan. Di Pulau Harapan tercatat sebanyak 106 spesies yang telah ditemukan.[19]
Pulau-pulau di Kepulauan Seribu yang berjarak dekat dengan Teluk Jakarta memiliki jumlah spesies yang lebih sedikit dibandingkan dengan pulau-pulau lain. Dua pulau di antaranya ialah Pulau Pari dan Pulau Tidung. Penyebab utamanya adalah pemutihan karang akibat fenomena El Niño–Osilasi Selatan yang terjadi pada tahun 1982/1983. Faktor lainnya adalah keberadaan kontaminasi antropogenik yang berasal dari daratan, limbah buatan manusia, polusi minyak, dan sampah domestik maupun industri.[19]
Ekosistem hutan bakau
[sunting | sunting sumber]Ekosistem hutan bakau di Kepulauan Seribu lebih sedikit dari segi luas dibandingkan dengan ekosistem terumbu karang dan ekosistem padang lamun. Penyebaran hutan bakau di Kepulauan Seribu di daerah pasang surut pulau sampai ke rataan terumbu karang pada pulau-pulau kecil. Sedikitnya hutan bakau di Kepulauan Seribu disebabkan oleh daerah kepulauan yang sebagian besar substratnya terbentuk dari batuan koral yang mengandung kalsium. Hutan bakau yang ada tumbuh secara berkelompok.[20]
Pada tahun 2009, luas hutan bakau di Kepulauan Seribu adalah 329,324 ha. Persentase luas tersebut terhadap luas total hutan bakau di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebesar 66%. Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta totalnya memiliki hutan bakau seluas 500,675 ha pada tahun tersebut.[20]
Pemerintah daerah bersama pihak swasta dan kelompok masyarakat di Kepulauan Seribu mengadakan berbagai kegiatan penanaman bakau.[20] Tujuan utamanya untuk mengembalikan fungsi ekologi dan fungsi fisik dari hutan bakau di Kepulauan Seribu.[21] Kegiatan penanaman ini membuat luas hutan bakau di Kepulauan Seribu terus mengalami perubahan.[20] Luas wilayah penanaman bakau mencapai 1.697,1 ha dalam selang tahun 2007–2013. Jumlah bibit yang ditanam pada periode tersebut sebanyak 8.348.030 buah.[20] Dari total 110 pulau di Kepulauan Seribu, sebanyak 60% yang ditemukan hutan bakau di dalamnya pada tahun 2014.[20]
Penanaman bakau di Kepulauan Seribu memiliki tingkat keberhasilan yang bervariasi. Di Pulau Pramuka, persentase ketahanan hidup dari bakau hasil penanaman bervariasi antara 3-67% pada tahun 2012. Pertumbuhan bakau rata-rata setinggi 32,5 cm per tahun. Sementara di Pulau Untung Jawa, persentase ketahanan hidup dari bakau hasil penanaman mencapai 72% pada tahun 2016. Bibit yang ditanam tumbuh setinggi 14,71 cm per tahun.[22]
Ekosistem padang lamun
[sunting | sunting sumber]Ekosistem padang lamun di Kepulauan Seribu meliputi beberapa spesies lamun. Keberadaan padang lamun membentuk koloni dari satu spesies atau campuran dari beberapa spesies lamun. Di Kepulauan Seribu diketahu sedikitnya delapan spesies lamun yaitu Cymodocea rotundata, Cymodocea serulata, Halophila ovalis, Halodule pinnifolia, Halodule universis, Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides dan Syringodium isoetifolium.[22]
Ekosistem perairan
[sunting | sunting sumber]Ekosistem perairan di Kepulauan Seribu dan Teluk Jakarta merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi satu sama lain. Ekosistem perairan di Kepulauan Seribu merupakan sumber perikanan bagi penduduk setempat dan penduduk di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, karena memiliki tingkat produktivitas dan keaneragaman hayati yang tinggi.[2]
Tata guna kawasan
[sunting | sunting sumber]Permukiman
[sunting | sunting sumber]Tidak semua pulau di Kepulauan Seribu dimukimi oleh manusia.[1] Di Kepulauan Seribu hanya terdapat 11 pulau yang dijadikan sebagai permukiman penduduk.[4] Kesebelas pulau ini yaitu Pulau Sebira, Pulau Pramuka, Pulau Payung, Pulau Lancang, Pulau Pari, Pulau Tidung, Pulau Panggang, Pulau Kelapa, Pulau Kelapa Dua, Pulau Untung Jawa dan Pulau Harapan.[23] Pulau-pulau dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi yaitu Pulau Tidung, Pulau Panggang, Pulau Kelapa dan Pulau Harapan.[18]
Perikanan tangkap
[sunting | sunting sumber]Para nelayan yang beraktivitas di Kepulauan Seribu mengandalkan perikanan pesisir dan dibedakan menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah para nelayan yang bergantung sepenuhnya kepada sumber daya perikanan karang. Kelompok kedua merupakan nelayan yang menangkap ikan di pesisir Pulau Jawa. Kelompok ketiga ialah nelayan pendatang yang berasal dari Kabupaten Cirebon dan sekitarnya. Alat tangkap ikan yang digunakan oleh nelayan berukuran kecil. Para nelayan umumnya menggunakan pukat tarik dan pukat cincin. Penangkapan ikan dilakukan menggunakan perahu kecil berukuran 10GT. Lokasi penangkapan ikan dipusatkan di Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu. Metode penangkapan ikan bagi nelayan yang menggunakan perahu motor meliputi penangkapan muroami, boukeami, jaring insang, bubu dan pancing. Wilayah penangkapannya meluas dari Kepulauan Seribu ke Karimunjawa, Pulau Bawean hingga ke Bangka Belitung, Selat Karimata dan Laut Tiongkok Selatan.[24]
Komoditas perikanan yang dihasilkan dari Kepulauan Seribu dan Teluk Jakarta utamanya adalah ikan pelagis berukuran kecil. Terdapat pula beberapa jenis ikan pelagis berukuran besar. Perairan di Kepulauan Seribu dan Teluk Jakarta juga menghasilkan ikan terumbu karang dan ikan demersal.[25] Famili ikan terumbu karang dan ikan demersal yang paling banyak ditangkap adalah Caesionidae, Nemipteridae, Pomacentridae, Labridae, dan Lethrinidae.[25]
Spesies target berjenis ikan terumbu karang yang ditangkap oleh nelayan sebanyak 36 jenis dalam 8 famili. 13 jenis ikan yang ditangkap merupakan komoditas perikanan yang penting. Spesies-spesies ini meliputi 1 spesies dari Kyposidae, 4 spesies dari Caesionidae, 2 spesies dari Lutjanidae, satu spesies dari Siganidae dan 5 spesies dari Serranidae.[25]
Jenis ikan pelagis kecil yang ditangkap berasal dari 6 famili. Sedangkan jenis ikan terumbu karang yang paling banyak ditangkap di Kepulauan Seribu dan Teluk Jakarta berasal dari dua famili, yaitu Pomacentridae dan Labridae. Jenis ikan pelagis kecil yang ditangkap berasal dari 6 famili yaitu Carangidae, Clupeidae, Scombridae, Engraulidae, Spyraenidae dan Chirocentridae. Spesies ikan yang ditangkap dari famili Carangidae meliputi kelompok selar. Dari famili Clupeidae ditangkap ikan tembang, siro dan cekong atau krismon. Lalu dari famili Scombridae ditangkap ikan banyar dan ikan kembung. Penangkapan ikan dari famili Engraulidae berupa ikan teri. Sedangkan dari famili Spyraenidae ditangkap jenis ikan alu-alu dan dari famili Chirocentridae ditangkap jenis ikan parang-parang.[25] Sementara itu, jenis ikan pelagis besar yang ditangkap hingga pendaratan ikan ke Daerah Khusus Ibukota Jakarta utamanya dari famili Scombridae. Jenis ikannya antara lain tuna, cakalang, tenggiri dan tongkol.[26]
Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2006–2015, perikanan tangkap di Kepulauan Seribu rata-rata memperoleh ikan seberat 5.339±2.541 (SE) ton. Penurunan jumlah penangkapan ikan pernah terjadi pada tahun 2009 dengan tingkat penurunan mencapai 59%. Sedangkan kenaikan tingkat penangkapan ikan dengan persentase terbesar terjadi pada tahun 2015 yaitu sebesar 1.860%. Pada tahun 2014, hasil tangkapan ikan seberat 1.420 ton dam meningkat menjadi 27.828 ton pada tahun 2015. Kecenderungan penurunan hasil penangkapan ikan di Kepulauan Seribu juga terjadi pada tahun 2013–2014.[27]
Budidaya rumput laut
[sunting | sunting sumber]Sentra produksi budidaya rumput laut di Kepulauan Seribu adalah Pulau Tidung. Namun, kegiatan produksi rumput laut di Pulau Tidung perlahan berkurang. Penyebabnya adalah adanya aktivitas di Kota Jakarta yang menimbulkan limbah cair dan banyaknya penyakit rumput laut.[28]
Wisata
[sunting | sunting sumber]Pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu telah dijadikan sebagai destinasi wisata oleh Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.[29] Pemerintah Kabupaten Pulau Seribu telah menetapkan sebanyak 45 pulau di Kepulauan Seribu sebagai pulau wisata. Namun hanya 11 yang memiliki sarana untuk menjadi objek wisata yang terbuka bagi masyarakat umum.[23] Pulau-pulau yang telah dijadikan sebagai objek wisata ialah Pulau Ayer, Pulau Kotok, Pulau Putri, Pulau Sepa, Pulau Tidung, Pulau Harapan, Pulau Pari, Pulau Bidadari, Pulau Pantara, Pulau Pramuka dan Pulau Pelangi.[12] Jenis wisata yang dominan di Kepulauan Seribu adalah wisata bahari yang sifatnya santai.[28]
Di perairan Pulau Pari, jenis wisata yang dapat dilakukan ialah selam, selam skuba dan selam permukaan.[30] Pada tahun 2010, Pulau Tidung di Kepulauan Seribu ditetapkan sebagai objek wisata karena memiliki sumber daya alam yang menarik. Pulau Tidung termasuk bagian dari wilayah administratif Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Pada tahun 2012, diterbitkan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 tahun 2012 yang menetapkan pembagian peruntukan lahan di Pulau Tidung. Sebesar 40% lahan digunakan untuk permukiman dan sebesar 50% lahan lainnya digunakan untuk pariwisata.[28]
Pada awal tahun 2016, Pemerintah Indonesia mengadakan sidang kabinet paripurna yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo. Dalam sidang ini dibahas mengenai kebijakan pembangunan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional. Kepulauan Seribu dibahas sebagai bagian dari pembangunan dan pengembangan ekowisata di Indonesia. Tujuannya untuk mengatasi pegurangan pola penghidupan masyarakat nelayan di Kepulauan Seribu akibat kerusakan ekosistem. Kepulauan Seribu ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia sebagai salah satu dari 10 Destinasi Prioritas Pariwisata guna percepatan pengembangan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional.[31]
Pada periode 2012–2013, terjadi peningkatan jumlah wisatawan sebesar 254,10% di Kepulauan Seribu. Jumlah wisatawan di Kepulauan Seribu sebanyak 4.627 wisatawan pada tahun 2012. Lalu pada tahun 2013 jumlah wisatawan di Kepulauan Seribu menjadi 16.384 wisatawan.[32]
Taman nasional
[sunting | sunting sumber]Kepulauan Seribu tidak hanya difungsikan sebagai daerah permukiman, perikanan dan wisata. Fungsi lainnya adalah sebagai wilayah perlindungan untuk biota dan habitatnya. Kawasan Kepulauan Seribu telah ditetapkan sebagai wilayah cagar alam berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 527/Kpts/Um/7/1982 . Keputusan ini diterbitkan pada tanggal 21 Juli 1982. Luas cagar alam yang ditetapkan adalag 108 ribu ha. Cagar alam ini kemudian diubah statusnya menjadi Taman Nasional Kepulauan Seribu dengan luas 107.489 ha. Pengubahan status berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6310/Kpts-II/2002 yang diterbitkan pada tanggal 13 Juni 2002. Pengelolaan Taman Nasional Kepulauan Seribu diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan Nomor SK.05/IV-KK/2004 yang diterbitkan pada tanggal 27 Januari 2004. Pengaturan ini menetapkan zonasi pengelolaan Taman Nasional Kepulauan Seribu. Dalam keputusan ini, Taman Nasional Kepulauan Seribu dibagi menjadi 4 zona yaitu zona inti, zona perlindungan, zona pariwisata dan zona permukiman. Zona perlindungan sendiri berperan sebagai wilayah penyangga zona inti.[20]
Secara administratif, Taman Nasional Kepulauan Seribu masuk dalam wilayah tiga kelurahan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, yaitu Kelurahan Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Kelapa, dan Kelurahan Pulau Harapan. Lokasi geografis dari Taman Nasional Kepulauan Seribu adalah 5º024’–5º045’ Lintang Selatan dan 106º025’–106º040’ Bujur Timur. Taman Nasional Kepulauan Seribu meliputi dua pulau dan perairan di sekitarnya, yaitu Pulau Penjaliran Barat dan Pulau Penjaliran Timur. Kedua pulau ini memiliki luas 39,50 ha.[33]
Taman Nasional Kepulauan Seribu telah ditetapkan sebagai Destinasi Pariwisata Nasional, Kawasan Strategis Pariwisata Nasional, dan Destinasi Wisata Prioritas.[34] Ketetapan ini berdasarkan kepada Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010–2025.[33]
Kepemilikan
[sunting | sunting sumber]Kepemilikan pulau yang ada di Kepulauan Seribu mulai menjadi milik pribadi sejak dasawarsa 1960-an hingga 1970-an. Status kepemilikan pribadi diberlakukan hanya pada pulau-pulau yang digunakan untuk permukiman. Pulau-pulau ini yaitu Pulau Untung Jawa, Pulau Tidung, Pulau Pari, Pula Pramuka, Pulau Panggang, Pulau Harapan, Pulau Kelapa, Pulau Kelapa Dua, dan Pulau Sebira.[35]
Penguasaan pulau-pulau di Kepulauan Seribu oleh perorangan atau pihak swasta dari luar pulau terjadi selama era Orde Baru. Pada tahun 2015, hanya 11 pulau yang dikuasai oleh penduduk sebagai pulau permukiman dari total 110 pulau yang ada di Kepulauan Seribu. Sedangkan 39 pulau berada dalam kepemilikan pemerintah daerah dan 60 pulau menjadi kepemilikan pribadi oleh perorangan ataupun pihak swasta.[36]
Pembelian pulau-pulau di Kepulauan Seribu oleh orang-orang dari luar pulau telah membatasi aktivitas nelayan terutama di pulau tak berpenghuni. Nelayan tidak bisa lagi menggunakan pulau tak berpenghuni sebagai tempat beristirahat, berlabuh dan berkebun. Karena di pulau-pulau ini telah ada pengamanan atau penjagaan yang dilakukan oleh pemilik pulau. Kondisi ini membuat pulau-pulau tak berpenghuni tidak lagi bisa dijadikan sebagai tempat bercocok tanam kelapa dan sayur oleh masyarakat di Kepulauan Seribu.[37]
Masalah lingkungan
[sunting | sunting sumber]Degradasi lingkungan
[sunting | sunting sumber]Wilayah perairan Kepulauan Seribu terletak dekat dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Teluk Jakarta membuatnya menerima pengaruh dari kegiatan penduduk Jakarta. Pengaruh ini berasal dari kegiatan di daratan, pesisir maupun lautan.[38] Kepulauan Seribu telah mengalami degradasi lingkungan dalam jangka waktu yang lama. Tiga famili koral di wilayah Teluk Jakarta dan dua famili koral di wilayah Kepulaun Seribu bagian utara telah hilang selama kurun 1920–2005. Penyebab utama terjadinya degradasi lingkungan di Kepulauan Seribu ada dua. Pertama ialah aktivitas dalam penangkapan ikan dan pariwisata. Kedua ialah pelimpahan limbah dan pelimpasan permukaan air. Limpahan limbah berasal dari pembuangan minyak oleh kapal, sedangkan limpasan permukaan berasal dari tiga belas muara yang berada di Teluk Jakarta.[31]
Kerusakan ekosistem
[sunting | sunting sumber]Eutrofikasi
[sunting | sunting sumber]Masukan antropogenik dengan bentuknya yang bermacam-macam membuat kondisi perairan Kepulauan Seribu mengalami eutrofikasi. Fenomena ini terjadi akibat perubahan kesuburan perairan dari kondisi yang normal menjadi kesuburan yang berlebihan akibat berlimpahnya nutrien yang memperbanyak jumlah plankton di Teluk Jakarta. Kandungan plankton di perairan Teluk Jakarta telah menjadi yang terbanyak dibandingkan dengan perairan lainnya di Indonesia. Eutrofikasi di perairan Teluk Jakarta juga terjadi akibat kasus ledakan populasi alga akibat keberadaan fitoplankton. Keberadaan fitoplankton sebagai bagian penting dari ekosistem perairan mendukung kehidupan berbagai jenis ikan yang membentuk suatu jaringan makanan.[38]
Kerusakan terumbu karang
[sunting | sunting sumber]Kerusakan ekosistem juga terjadi selama kurun 1920–2005 di Kepulauan Seribu. Ekosistem di Kepulauan Seribu mengalami penurunan fungsi akibat tiga hal yang utama. Pertama ialah terjadinya dinamika penduduk. Kedua ialah gangguan oleh pasar ekonomi global baik dalam bentuk eksploitasi ikan dan kegiatan-kegiatan ekowisata. Ketiga ialah penguasaan lahan oleh pihak swasta ataupun korporat.[31]
Kondisi terumbu karang di Kepulauan Seribu mengalami penurunan jumlah akibat mengalami kerusakan. Keberlimpahan terumbu karang di Kepulauan Seribu masih terjaga hingga dekade 1980-an. Namun sejumlah penelitian menyatakan bahwa kerusakan terumbu karang di Kepulauan Seribu mencapai 70% pada dekade 2000-an. Terumbu karang di Kepulauan Seribu yang masih dalam kondisi baik tersisa 10% saja. Pemerintah Kepulauan Seribu telah mengadakan program transplantasi karang. Program ini mencontoh keberhasilan program yang sama di Hawai, Karibian dan Filipina. Pemerintah Kepulauan Seribu menetapkan program transplantasi karang di Kepulauan Seribu diadakan di kawasan area perlindungan laut dan sekitar kawasan pulau pemukiman.[39]
Selain karena aktivitas manusia, kerusakan terumbu karang di Kepulauan Seribu juga terjadi secara alami. Dua penyebab utamanya adalah keberadaan bintang laut mahkota duri (Acanthaster planci) dan el-nino. Bintang laut mahkota duri merusak terumbu karang karena menjadikan karang sebagai makanan. Pemangsaan karang oleh Bintang laut mahkota duri bersifat berlebihan pada kondisi tidak bertemu dengan pemangsanya. Sementara itu, el-nino membuat karang menjadi berwarna putih hingga karang mengalami kematian secara massal.[40] El-nino yang terjadi pada 1991 dan 1993 di Kepulauan Seribu menimbulkan suhu yang tinggi pada tutupan karang dan merusak terumbu karang.[41]
Pengurangan luas padang lamun
[sunting | sunting sumber]Ekosistem padang lamun di Kepulauan Seribu rentan mengalami perubahan karena gangguan antroprogenik. Gangguan ini merupakan akibat dari wilayah perairan Kepulauan Seribu yang difungsikan sebagai permukiman dan kawasan wisata. Perubahan yang dapat terjadi pada ekosistem padang lamun di Kepulauan Seribu adalah kematian komunitas lamun dan perubahan strukturnya serta perubahan kepadatan lamun. Kondisi ini membuat luas ekosistem padang lamun berkurang. Beberapa penyebab utama terjadinya pengurangan luas ekosistem padang lamun di Kepulauan Seribu adalah tumpahan minyak, sampah plastik dan limbah rumah tangga. Penyebab lainnya adalah reklamasi pulau dalam rangka pembangunan sarana wisata.[22]
Pulau tenggelam
[sunting | sunting sumber]Pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu memiliki tingkat kerentanan yang tinggi untuk tenggelam secara alami. Pada kurun 1970–2016, sebanyak 4 pulau kecil di Kepulauan Seribu telah tenggelam.[31] Tenggelamnya pulau-pulau di Kepuluan Seribu merupakan akibat dari erosi pantai yang disertai kegiatan penambangan untuk keperluan komersial.[42] Erosi pantai di Kepulauan Seribu disebabkan oleh konsentrasi energi ombak.[43]
Pengelolaan sampah
[sunting | sunting sumber]Pemerintah Daerah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu telah menyediakan armada kapal pengumpul sampah di Kepulauan Seribu. Pada tahun 2020, disediakan sebanyak 28 kapal dengan berbagai jenis ukuran khusus untuk mengumpulkan sampah. Sebanyak 8 kapal khusus digunakan dalam pengangkutan sampah dari Kepulauan Seribu ke Jakarta secara bolak-balik. Sementara 7 kapal lainnya digunakan khusus untuk pengumpulan sampah di pesisir Teluk Jakarta. Unit kapal yang tersisa dikerahkan untuk mengumpulkan sampah di pesisir Kepulauan Seribu. Rerata berat sampah di pesisir Teluk Jakarta tiap harinya adalah 9,4 ton.[44]
Angkutan umum
[sunting | sunting sumber]Angkutan umum di Kepulauan Seribu untuk pengangkutan turis masih terbatas menggunakan kapal cepat hingga tahun 2019. Kapal cepat yang disiapkan sebanyak 11 unit dan milik Dinas Perhubungan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Namun yang difungsikan hanya empat kapal.[45]
Referensi
[sunting | sunting sumber]Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ a b Sulistyadi, Eddyono, dan Hasibuan 2017, hlm. 145.
- ^ a b c Wiadnyana, Krismono dan Pranowo 2021, hlm. 11.
- ^ Wiadnyana, Krismono dan Pranowo 2021, hlm. 2.
- ^ a b c BPS Jakarta Utara 2004, hlm. 4.
- ^ Wiadnyana, Krismono dan Pranowo 2021, hlm. 9.
- ^ Tim Penulis 2019, hlm. 15.
- ^ BPS Jakarta Utara 2004, hlm. 5.
- ^ Diposaptono, Budiman, dan Agung 2013, hlm. 84.
- ^ BPS Jakarta Utara 2004, hlm. 6.
- ^ BPS Jakarta Utara 2004, hlm. 4-5.
- ^ BPS Jakarta Utara 2004, hlm. 9-10.
- ^ a b Thedy dan Firmansyah 2014, hlm. 118.
- ^ Mujiyani, dkk. 2002, hlm. 10.
- ^ Kepel, dkk. 2018, hlm. 3-4.
- ^ Mujiyani, dkk. 2002, hlm. iii.
- ^ a b c Khrisnamurti, Utami, dan Darmawan 2016, hlm. 265.
- ^ Wiadnyana, Krismono dan Pranowo 2021, hlm. 1-2.
- ^ a b Madduppa 2013, hlm. 86.
- ^ a b Madduppa 2013, hlm. 92.
- ^ a b c d e f g Kepel, dkk. 2018, hlm. 4.
- ^ Kepel, dkk. 2018, hlm. 4-5.
- ^ a b c Kepel, dkk. 2018, hlm. 5.
- ^ a b Sulistyadi, Eddyono, dan Hasibuan 2017, hlm. 147.
- ^ Wiadnyana, Krismono dan Pranowo 2021, hlm. 6.
- ^ a b c d Wiadnyana, Krismono dan Pranowo 2021, hlm. 14.
- ^ Wiadnyana, Krismono dan Pranowo 2021, hlm. 14-15.
- ^ Kepel, dkk. 2018, hlm. 6.
- ^ a b c Khrisnamurti, Utami, dan Darmawan 2016, hlm. 258.
- ^ Baidowi, dkk. 2020, hlm. 100.
- ^ Thedy dan Firmansyah 2014, hlm. 119.
- ^ a b c d Shohibuddin dan Bahri 2019, hlm. 179.
- ^ Shohibuddin dan Bahri 2019, hlm. 180.
- ^ a b Yulianda dan Atmadipoera 2019, hlm. 2.
- ^ Yulianda dan Atmadipoera 2019, hlm. 3.
- ^ Shohibuddin dan Bahri 2019, hlm. 181-182.
- ^ Shohibuddin dan Bahri 2018, hlm. 182.
- ^ Shohibuddin dan Bahri 2019, hlm. 182.
- ^ a b Wiadnyana, Krismono dan Pranowo 2021, hlm. 1.
- ^ Wiadnyana, Krismono dan Pranowo 2021, hlm. 3-4.
- ^ Madduppa 2013, hlm. 89.
- ^ Madduppa 2013, hlm. 89-90.
- ^ Diposaptono, Budiman, dan Agung 2013, hlm. 79.
- ^ Diposaptono, Budiman, dan Agung 2013, hlm. 135.
- ^ Baidowi, dkk. 2020, hlm. 105.
- ^ Tim Penulis 2019, hlm. 24.
Daftar pustaka
[sunting | sunting sumber]- Badan Pusat Statistik Kotamadya Jakarta Utara. Kepulauan Seribu dalam Angka 2003 (PDF). Jakarta Utara: Badan Pusat Statistik Kotamadya Jakarta Utara. ISBN 979-474-722-X.
- Baidowi, dkk. (Desember 2020). Chandra, Handy, ed. Realita dan Rekomendasi Pengelolaan Sampah di Kepulauan. Bogor: PT Penerbit IPB Press. ISBN 978-623-256-474-9.
- Diposaptono, S., Budiman, dan Agung, F. (2013). Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PDF). Bogor: Penerbit Sains Press. ISBN 978-979-3556-90-1.
- Kepel, dkk. (Desember 2018). "Simpanan Karbon Ekosistem Pesisir Versus Emisi Kapal Nelayan di Kepulauan Seribu". Dalam Husrin, S., dan Nugroho, D. Bunga Rampai Dinamika Karbon Biru di Kepulauan Seribu. Jakarta Utara: Pusat Riset Kelautan. ISBN 978-602-61699-6-9.
- Khrisnamurti, Utami, H., dan Darmawan, R. (September 2016). "Dampak Pariwisata terhadap Lingkungan di Pulau Tidung Kepulauan Seribu". Kajian. 21 (3).
- Madduppa, Hawis (Desember 2013). Budiayu, A., dan Kurniawan, M. C., ed. Bioekologi dan Biosistematika Ikan Terumbu: Teknik Sampling Genetika & Monitoring Ikan Studi Status Kepulauan Seribu Petunjuk Identifikasi ikan di Indonesia. Bogor: PT Penerbit IPB Press.
- Mujiyani, dkk. (2002). Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil: Partisipasi Masyarakat di Kepulauan Seribu (PDF). Jakarta: Pusat Penelitian Kependudukan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. ISSN 0852-9280.
- Shohibuddin, M., dan Bahri, A. D., ed. (Agustus 2019). Perjuangan Keadilan Agraria. INSISTPress, Sajogyo Institute, Bina Desa, dan AKATIGA. ISBN 978-602-0857-86-2.
- Sulistyadi, Y., Eddyono, F., dan Hasibuan, B. (Oktober 2017). Pariwisata Berkelanjutan: Pengelolaan Destinasi Wisata Berbasis Masyarakat. Bandar Lampung: AURA. ISBN 978-602-6739-53-7.
- Thedy, A., dan Firmansyah, A. (September 2014). Rozaline, ed. 50 Wisata Domestik Indonesia. PT Onbloss Creative Mandiri. ISBN 978-602-14968-2-4.
- Tim Penulis (September 2019). Husrin, S., Nugroho, D., dan Asvaliantina, V., ed. Dinamika dan Tantangan Pengelolaan Ekosistem Pesisir dan Laut di Kepulauan Seribu. Bogor: PT Penerbit IPB Press.
- Wiadnyana, N. N., Krismono dan Pranowo, W. S., ed. (September 2021). Menuju Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Teluk Jakarta dan Perairan Kepulauan Seribu. Jakarta Pusat: AMaFRaD press. ISBN 978-623-6464-19-9.
- Yulianda, F., dan Atmadipoetra, A. S. (Agustus 2019). Nugraha, B., dan Rizqydiani, M., ed. Daya Dukung dan Rencana Pengelolaan Ekowisata Kawasan Konservasi Laut Model Kasus: Taman Nasional Kepulauan Seribu. Bogor: PT Penerbit IPB Press. ISBN 978-602-440-636-3.