[go: up one dir, main page]
More Web Proxy on the site http://driver.im/Lompat ke isi

Fengshen Yanyi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Feng Shen (Penganugerahan Malaikat), karya Nio Joe Lan, tahun 1951.
Kisah Ne Zha dalam Buku cerita Fengshen (edisi tak diketahui)

Fengshen Yanyi, Feng Shen atau Feng Shen Bang adalah cerita klasik Tiongkok yang ditulis pada zaman Dinasti Ming (1368-1644). Feng Shen merupakan dongeng fiksi tentang jatuhnya Dinasti Shang dan pendirian Dinasti Zhou.[1]

Menurut sejarawan Tionghoa-Indonesia, Nio Joe Lan, Feng Shen dapat diartikan Kurnia menjadi Dewa, Pengangkatan Dewa, atau Penganugerahan Malaikat.[2][3]

Intisari cerita

[sunting | sunting sumber]

Kekejaman Raja Zhou dan Da Ji

[sunting | sunting sumber]

Latar belakang cerita adalah kekejaman dari raja Shang yang ke-18, Zhou Xin. Kekejamannya dilakukan atas anjuran permaisurinya, Da Ji. Da Ji sebenarnya putri seorang raja-muda yang diperoleh raja dengan cara paksa.

Da Ji dibawa oleh ayahnya ke istana untuk diserahkan kepada raja. Di tengah perjalanan Da Ji dirasuki oleh siluman rubah. Siluman rubah diperintahkan oleh Nuwa untuk membalas penodaan yang dilakukan raja Zhou di Kuil Nuwa. Nuwa menginginkan agar siluman rubah itu mengacaukan Dinasti Shang. Dengan menggunakan tubuh Da Ji, siluman rubah membisikkan raja agar berbuat hal-hal kejam. Kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh Da Ji antara lain eksekusi terhadap orang-orang tidak disukainya. Atas usul Da Ji dibuat tonggak tembaga yang di dalamnya diisi api. Orang-orang yang berani mengkritik raja dihukum memeluk tonggak besi yang panas sampai mati terbakar. Selain itu dibuat juga sebuah lubang yang diisi dengan banyak ular dimana para dayang istana yang tak disukai Da Ji dilemparkan ke dalamnya. Da Ji juga melakukan kekejaman lain seperti membelah perut wanita hamil.

Kisah Ji Chang

[sunting | sunting sumber]

Karena hasutan Da Ji, raja Zhou memerintahkan permaisuri dan kedua putranya dieksekusi. Ayah permaisuri adalah Chiang Huang-chu, Raja muda Timur, dikhawatirkan akan memberontak karena kematian putrinya. Raja memanggil keempat raja muda yang berkuasa di daerah ke ibu kota untuk diinterogasi. Mereka sebenarnya akan dieksekusi. Putra Ji Chang yang bernama Boyi Kao, pergi ke istana memohon raja Zhou untuk mengampuni ayahnya. Boyi Kao pandai memainkan kecapi dan juga berwajah tampan sehingga menarik perhatian Da Ji. Da Ji menggoda Boyi Kao namun tak dihiraukan. Seekor kera yang dibawa Boyi Kao dapat mencium bau siluman rubah pada diri Da Ji kemudian menyerangnya. Karena tindakan tersebut, Boyi Kao dihukum mati.

Ji Chang terkenal sebagai peramal ulung. Da Ji mengusulkan agar daging Boyi Kao dijadikan bakso dan ia kirimkan kepada Ji Chang. Kalau benar Ji Chang pandai meramal, ia pasti mengetahui bahwa masakan yang dikirimkan itu adalah daging anaknya. Ji Chang sebenarnya sudah mengetahui namun sengaja memakan masakan itu. Mengetahui Ji Chang memakan bakso, raja Zhou membatalkan eksekusi. Ia merasa Ji Chang tidak memiliki kemampuan sakti yang membahayakan kerajaan Zhou, sehingga ia bisa dilepaskan. Dalam perjalanan pulang, Ji Chang yang bersedih memuntahkan tiga butir bakso yang telah ditelannya. Bakso tersebut berubah menjadi tiga ekor kelinci.

Kisah Ne Zha

[sunting | sunting sumber]

Ne Zha adalah anak sakti yang bersenjatakan gelang besi. Ne Zha mengusik istana Raja Naga ketika ia sedang mandi di sungai. Akibatnya terjadi pertarungan antara dirinya dengan putra raja naga sungai. Dalam pertarungan itu, putra raja naga tewas. Perbuatan Ne Zha diadukan oleh raja naga kepada Kaisar Langit. Pelaporan Raja Naga terdengar oleh ayah Ne Zha, Li Jing, akibatnya Ne Zha bermusuhan dengan ayahnya. Ne Zha merasa kesal akhirnya mengembalikan dagingnya kepada orang tuanya, lalu dihidupkan kembali oleh Taiyi zhenren dengan daun teratai. Ne Zha dihadiahkan senjata roda angin dan api. Ne Zha kemudian menjadi seorang pembantu Jiang Ziya dan juga mengabdi kepada Ji Chang.

Kisah Jiang Ziya

[sunting | sunting sumber]

Jiang Ziya adalah orang tua yang turun gunung setelah lama bertapa. Ketika sedang mencari pekerjaan di kota pada suatu hari ia mencium penyamaran siluman dan membunuhnya. Da Ji sangat marah karena temannya terbunuh. Jiang Ziya pergi ke negara Ji Chang yang saat itu sudah menjadi pemimpin Dinasti Zhou. Di tempat tersebut, ia hanya pergi memancing tanpa kail. Ia mengatakan bahwa yang hendak di dipancingnya bukan ikan, tetapi raja-raja. Wen Wang mengundang Jiang Ziya untuk membantunya dalam memerintah negara.

Peperangan antara Kerajaan Shang dan Zhou

[sunting | sunting sumber]

Akhirnya timbul peperangan antara Wen Wang dari Dinasti Zhou di sebelah barat dan Raja Zhou dari Shang. Dalam pertempuran, banyak pertapa, orang-orang berilmu dan sakti yang ikut serta. Banyak dari mereka tewas dalam pertempuran. Yang menjadi panglima Dinasti Zhou adalah Jiang Ziya. Jika ada orang-orang dari kedua pihak yang tewas dalam perang, maka roh mereka akan melayang ke sebuah panggung di langit. Setelah peperangan berakhir, Raja Zhou membakar diri sendiri di dalam istana Shang. Jiang Ziya naik ke panggung roh dan memberikan berbagai pangkat dewa kepada roh-roh tersebut. Dari penobatan ini kemudian cerita dinamakan "Pengangkatan/Penganugerahan Dewa".[3]

Popularitas

[sunting | sunting sumber]

Cerita Feng Shen berpengaruh besar dalam sastra dan budaya Tionghoa.

Di atas pintu orang Tionghoa sering terdapat sehelai kertas merah yang bertuliskan "Jiang Ziya berada di sini", maksud tulisan itu adalah untuk menolak gangguan roh jahat. Jiang Ziya sebagai pemberi gelar dewa mungkin ditakuti oleh roh-roh jahat yang hendak mengganggu manusia.[4]

Penulis buku tidak diketahui namanya, mempunyai pandangan jauh ke depan tentang hal-hal mustahil pada zaman kuno yang tertulis di buku namun terwujud pada masa depan.

Versi yang terbit di Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Nio, Joe-lan (1966). Antologi Sastra Tiongkok. Jakarta: Gunung Agung. 
  2. ^ Nio, Joe-lan (1952). Tiongkok Sepandjang Abad. Jakarta: Balai Pustaka. 
  3. ^ a b Nio, Joe-lan (1966). Sastra Tiongkok Sepintas Lalu. Jakarta: Gunung Agung. 
  4. ^ Nio, Joe-lan (2013). Peradaban Tionghoa Selayang Pandang. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]