[go: up one dir, main page]
More Web Proxy on the site http://driver.im/

Lonceng

instrumen musik

Lonceng, Genta atau Bel adalah suatu peralatan sederhana yang digunakan untuk menciptakan bunyi. Bentuknya biasanya adalah sebuah Anabelle Kai, tabung dengan salah satu sisi yang terbuka dan bergema saat dipukul. Alat untuk memukul dapat berupa pemukul panjang yang digantung di dalam lonceng tersebut atau pemukul yang terpisah. Menurut KBBI, lonceng memiliki dua pengertian, pertama lonceng adalah semacam bel yang dibunyikan untuk menentukan waktu atau memberitahukan sesuatu kejadian, sedangkan pengertian yang kedua, lonceng adalah jam besar atau arloji. Lonceng-lonceng besar pada umumnya terbuat dari logam namun lonceng-lonceng kecil dapat pula terbuat dari keramik atau porselen.

Lonceng Zygmunt di Krakow, Polandia.

Mekanisme

sunting

Lonceng dapat menghasilkan bunyi dikarenakan adanya gelombang yang dihasilkan dari benturan kedua logam (bandul dan badan lonceng) ketika digoyangkan. Gelombang tersebut menggetarkan udara disekitarnya. Perambatan getaran membentuk pola rapatan dan regangan. Pola rapatan dan regangan inilah menggetarkan udara di sekitarnya dan menjalar ke segala arah. Gelombang yang dihasilkan merambat pada frekuensi tertentu dan akan menggetarkan gendang telinga, lalu memberikan informasi ke otak sebagai suara atau bunyi. Gelombang bunyi termasuk ke dalam gelombang longitudinal karena perambatannya membentuk pola rapatan dan regangan seperti yang telah dijelaskan di atas. Gelombang bunyi membutuhkan medium dalam perambatannya.

Penggunaan

sunting

Zaman dahulu

sunting

Dahulu lonceng digunakan untuk mengabarkan suatu berita kepada masyrakat dan sebagai penanda waktu. Lonceng atau genta digunakan di berbagai agama di dunia sebagai penanda waktu ibadah atau sebagai bagian dari perangkat ritual. Genta digunakan antara lain dalam ritual Buddhisme dan Hinduisme. Dalam agama Buddha genta digunakan untuk menandai waktu beribadah, genta besar biasanya diletakkan di wihara dan dibunyikan pada waktu-waktu tertentu. Pada agama Hindu terutama Hindu Bali genta kecil berukir wajra digunakan pedanda (pendeta) Hindu dalam ritual pemujaan.

Lonceng juga digunakan oleh umat Kristiani untuk memberi tanda waktu beribadah, biasanya dibunyikan tiga kali, pada pukul 06.00. 12.00, dan 18.00. Lonceng digunakan pertama kali dalam gereja Katolik sekitar tahun 400 masehi, dan dianggap diperkenalkan oleh Paulinus, Uskup Nola, sebuah kota di Campania, Italia. Penggunaannya menyebar luas dengan cepat dan tidak hanya digunakan untuk mengumpulkan umat dalam acara keagamaan, tetapi juga sebagai peringatan ketika ada bahaya.

Zaman modern

sunting

Seiring berkembangnya teknologi komunikasi, pada masa modern lonceng sudah jarang digunakan, namun beberapa tempat masih tetap menggunakannya untuk keperluan umum, contohnya dipakai di beberapa sekolah untuk tanda pergantian jam pelajaran, istirahat, masuk kelas, dan pengumuman. Selain itu, lonceng juga dijadikan sebagai hiasan di pohon natal, biasanya lonceng hiasan ini bentuknya kecil, berwarna-warni, dan terbuat dari bahan plastik, kaca, atau alumunium.

Lonceng-lonceng terkenal

sunting

Lonceng Cakradonya

sunting
 
Lonceng Cakra Donya

Lonceng ini sangat terkenal di daerah Aceh. Sejarah mencatat bahwa lonceng cakradonya merupakan pemberian dari Laksamana Cheng Ho, seorang pemimpin armada laut Tiongkok yang diutus oleh Kaisar Cina kepada Kesultanan Samudera Pasai pada tahun 1405. Pemberian lonceng ini dalam rangka mengikat hubungan persahabatan dan kerjasama antara dua kerajaan di negara yang berbeda. Lonceng ini berukuran 11/2 m dan lebar 1 m. Pada sekitar tahun 1524 M Kesultanan Pasai ditaklukkan oleh Kesultanan Aceh Darussalam dan lonceng tersebut akhirnya diangkut ke Banda Aceh.[1] Nama Cakradonya adalah nama armada perang Sultan Iskandar Muda, yang mana cakra berarti kabar sedangkan donya artinya dunia. Lonceng cakradonya berfungsi sebagai media untuk menyampaikan kabar kepada dunia, termasuk isyarat perang pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda. Pada bagian atas lonceng ini terdapat tulisan aksara Tionghoa dan Arab. Aksara Tionghoa yang tertulis adalah "Sing Fang Niat Toeng Juut Kat Yat Tjo", tetapi tulisan aksara tersebut sudah tidak terbaca lagi karena sudah dimakan usia. Mulanya Lonceng raksasa yang merupakan salah satu peninggalan bersejarah yang bermutu tinggi ini diletakkan di dekat Masjid Raya Baiturrahman yang berlokasi di kompleks Istana Sultan. Namun kini Lonceng Cakradonya telah dipindahkan ke Museum Aceh dan ditempatkan dalam sebuah kubah di halaman museum tersebut sejak tahun 1915. Hingga kini Lonceng raksasa ini menjadi simbol atau icon khusus Kota Aceh.

Lonceng Soli Deo Gloria

sunting

Sebuah lonceng besar peninggalan Belanda di Museum Fatahillah. Lonceng peninggalan Belanda sejak abad 18. Pada masanya, lonceng ini selalu dibunyikan sebagai pertanda akan ada tawanan yang akan dihukum gantung oleh Pemerintah Belanda. Di bagian atas menara terdapat alat penggerak kuno yang kini sudah tidak berfungsi lagi. Pada alat penggerak tersebut tergantung sebuah besi semacam bandul, sedangkan loncengnya menempel di bagian atas. Di dekat lonceng ini ada sebuah besi yang dikaitkan dengan besi lainnya untuk menarik. Jika besi penarik tadi ditarik kemudian dilepas, maka besi tadi akan memukul lonceng. Lonceng ini akan dibunyikan untuk memanggil semua warga di dalam maupun di luar tembok Batavia untuk menyaksikan hukuman gantung.

Lonceng buatan tahun 1742 tersebut terbuat dari besi. Di masa Gubernur DKI Ali Sadikin, 1973, gedung bekas balai kota ini mengalami pemugaran besar-besaran. Namun tak ada data yang menyebutkan bagian bagian mana saja yang sudah dipugar dan diganti dengan yang baru. Berdasarkan pada keterangan arkeolog yang juga Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kota Tua, Candrian Attahiyyat, kemungkinan besar lonceng pun ikut diganti. "Lonceng yang sekarang kan kecil. Kemungkinan sudah mengalami perubahan sejak sebelum 1973, tapi bisa juga pada saat pemugaran besar tahun 1973," ujarnya.

Dalam buku "Dari Stadhuis ke Museum" , Hans Bonke dan Anne Handojo menyebutkan, tanggal 25 Januari 1707, Petronella Wilhelmina, putri Gubernur Jenderal Joan van Hoorn (1704-1709) meletakkan batu pertama. Menara kecil dipasang di atas atap dan lonceng dipasang kembali di sisi bordes. Dalam catatan lain, lonceng dibikin tahun 1742, itu artinya selama abad 18 saja sudah terjadi perubahan. Bisa jadi lonceng kematian dibikin setelah terjadi pembantaian orang Cina pada 1740. Eksekusi terakhir yang mengikutsertakan lonceng kematian terjadi pada 1896. Tjoen Boen Tjeng dihukum gantung karena terlibat dalam penjarahan.

Buku ini juga mencatat, setelah tahun 1870 para juru foto dari Woodbury & Page yang membuat foto-foto pertama di Batavia menunjukkan bahwa bagian depan stadhuis sudah banyak berubah dalam 20 tahun terakhir. Sayangnya perubahan yang terjadi di sepanjang abad 18, 19, hingga 20 tak tercatat secara detail.

Big Ben

sunting

Big Ben berlokasi di ujung Istana Westminter, London.Sebenarnya yang disebut Big Ben bukanlah menara jam tersebut, melainkan lonceng raksasa seberat 14,5 ton yang tergantung di puncak menara jam itu. Lonceng berat tersebut akan berdentang setiap pergantian jam, yang bunyinya seringkali disebut sebagai “bong” oleh orang-orang Inggris. Menara jam empat sisi berdentang terbesar di dunia ini telah berusia 150 tahun pada tahun 2009 ini. Selama perjalanan waktu 150 tahun itu lonceng Big Ben juga sempat mengalami beberapa kerusakan mekanik yang disebabkan oleh karat dan salju, tetapi kerusakan-kerusakan yang terjadi masih dapat diatasi. Hingga saat ini, menara jam berlonceng buatan Whitechapel Bell Foundry tersebut menjadi landmark terfavorit di Inggris.

Lonceng kereta api

sunting

Kereta api uap zaman dulu menggunakan lonceng yang dipasang pada lokomotif atau dipasang di belakang cerobong asap. Lonceng ini dioperasikan secara manual, yaitu dengan menarik pemukulnya dengan tangan. Fungsinya adalah untuk komunikasi awak kereta dengan stasiun yang menggunakan sandi morse jika terjadi sesuatu, seperti jika mogok atau terjadi perampokan. Titik dilambangkan dengan satu kali bunyi lonceng, dan garis dilambangkan dengan dua kali bunyi lonceng secara berurutan karena pada zaman dulu belum ada telepon kereta api. Sedangkan zaman sekarang, untuk kereta yang masih menggunakan lonceng, loncengnya sudah digerakan secara hidraulik dan tidak menggunakan sandi morse.

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
Umum
Khusus