[go: up one dir, main page]
More Web Proxy on the site http://driver.im/

Desember Hitam merupakan gerakan protes dengan menandatangani surat pernyataan bersama oleh 14 pelukis muda pada tahun 1974.[1] Protes ini didasarkan pada hasil akhir anugerah yang diberikan pada Pameran Besar Seni Lukis Indonesia (PBSLI) pada tanggal 18-31 Desember 1974.[1] Protes itu dipicu juga oleh pengutamaan gaya abstrak dekoratif sebagai syarat "lukisan yang baik".[2]

Sejarah

sunting

Pada tanggal 18—31 Desember 1974, Pameran Besar Seni Lukis Indonesia (PBSLI) untuk pertama kalinya digelar oleh Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta di Taman Ismail Marzuki.[3] Pameran tersebut diikuti oleh 83 pelukis serta memamerkan 240 karya.[1] Dewan juri PBSLI yaitu Popo Iskandar, Affandi, Rusli, Fajar Sidik, Sudjoko, Alex Papadimitriou, dan Umar Khayam.[1] Dewan juri kemudian memilih lima karya terbaik dari pameran tersebut yaitu “Matahari dari Atas Taman” karya Irsam, “Keluarga” karya Widayat, “Lukisan Wajah” karya Abas Alibasyah, “Pohon” karya Aming Prayitno, dan “Tulisan Putih” karya Abdul Djalil Pirous.[1]

Perseteruan

sunting

Dewan juri PBSLI mengkritik karya para seniman muda yang dianggap sudah keluar dari pakem yang ada dan diterbitkan dalam artikel berjudul “Desember Hitam, GSRB, dan Kontemporer”.[4] Artikel tersebut dianggap mendiskreditan para pelukis muda sehingga berujung pada keluarnya Pernyataan Desember Hitam 1974 sebagai bentuk protes.[1] Pernyataan tersebut ditandatangani oleh Muryotohartoyo, Juzwar, FX Harsono, B Munni Ardhi, M Sulebar, Ris Purwana, Daryono, Siti Adiyati, DA Peransi, Baharudin Narasutan, Ikranegara, Adri Darmadji, Hardi, dan Abdul Hadi WM.[1][2] Menurut Jim Supangkat, para seniman muda ini menandatangani Desember Hitam bukan karena tidak dimenangkan oleh dewan juri tetapi karena adanya kemandekan dalam seni lukis Indonesia karena depolitisasi.[1]

Kritik dari dewan juri tersebut dianggap para seniman muda tidak sehat bagi perkembangan seni rupa Indonesia karena bisa menghambat perkembangan seni lukis Indonesia.[1] Para seniman muda ini juga menolak paham kemapanan dan menyarankan para seniman senior yang mapan untuk diberikan gelar kehormatan, purnawirawan budaya.[1]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e f g h i j "Desember Hitam". historia.id. Diakses tanggal 2018-03-04. 
  2. ^ a b "40 Tahun Desember Hitam". Dewan Kesenian Jakarta. Diakses tanggal 2018-03-04. 
  3. ^ Pameran ini merupakan cikal bakal dari Jakarta Biennale yang diselenggarakan rutin setiap dua tahun.
  4. ^ “Usaha bermain-main dengan apa yang asal ‘baru’ dan ‘aneh’ saja, dapatlah dianggap sebagai usaha coba-coba, cari-cari, atau sekadar iseng, atau bukti langkanya ide dan kreativitas,” ujar seorang juri dalam majalah Angkatan Bersendjata, 27 Desember 1974. (Dikutip melalui Historia.id)